Selasa, 07 Juli 2015

YANG LEBIH PENTING DARI POLITIK ADALAH KEMANUSIAAN


Persoalan hak asasi manusia di Indonesia dibikin rumit sebab kerap diselesaikan lewat kompromi politik. Persoalan ini juga menunjukkan betapa amburadulnya hukum Indonesia yang katanya adalah negara hukum itu.
Kasus penculikan dan penghilangan aktivis secara paksa pada 1997-1998 misalnya. Lembaga negara seperti Komnas HAM berdasarkan hasil penyelidikan telah menyatakan kasus itu sebagai pelanggaran HAM berat.
Kepada Kejaksaan Agung, Komnas HAM meminta agar kasus itu ditingkatkan ke tahap penyidikan. Dewan Perwakilan Rakyat pada 2009 juga menyatakan hal yang sama, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diminta membentuk pengadilan HAM ad hoc agar pelakunya bisa diadili.
DPR juga merekomendasikan kepada pemerintah agar mengerahkan segala upaya untuk mencari 13 orang yang masih hilang hingga kini. Akan tetapi, tak satu pun dari 4 rekomendasi DPR itu dijalankan Presiden Yudhoyono tanpa memberi penjelasan kepada keluarga korban atau publik.
Berdasarkan konvensi PBB tentang perlindungan semua orang dari penghilangan secara paksa, negara mesti mengambil tindakan yang perlu untuk menyelidiki kasus seperti penculikan aktivis 1997-1998. Pelaku harus dibawa ke pengadilan.
Konvensi ini juga salah satu dari rekomendasi DPR kepada pemerintah yaitu agar meratifikasinya sebagai sebuah aturan di Indonesia. Namun, seperti yang diungkapkan, hingga kini Presiden Yudhoyono sama sekali tak melakukan apapun termasuk mencari orang hilang itu.
Nihilnya tindakan pemerintah mengenai kasus ini membuat publik teringat orang-orang seperti Munir Said Thalib, aktivis HAM dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Rakyat membutuhkan orang-orang yang dalam kehidupannya sangat mengutamakan kemanusiaan.
Setelah Wiranto sebagai Panglima ABRI [baca:TNI] mengumumkan pembentukan Dewan Kehormatan Perwira pada 3 Agustus 1998 untuk menyelidiki keterlibatan Prabowo Subianto, Muchdi PR dll dalam kasus penculikan, Munir bereaksi.
Menurut Munir, Prabowo berpangkat jenderal tak lantas membuatnya kebal hukum dan penyelesaiannya ditempuh lewat DKP. Apalagi pembentukan DKP itu menyalahi prosedur dan tak sesuai dengan surat keputusan Panglima ABRI sehingga cacat hukum.
Keputusan pembentukan DKP itu, kata Munir, mengabaikan tuntutan rasa keadilan untuk menuntaskan kasus penculikan secara tuntas. Itu sebabnya pada 1999 Munir mendukung keluarga Prabowo yang ingin menggugat pemerintah agar proses hukum terhadap semua pelanggaran HAM pada 1998 bisa berjalan sesuai hukum.
Dari sini tampak, dukungan Munir sebagai upayanya untuk menuntaskan kasus penculikan atau untuk mengetahui nasib 13 aktivis yang tak diketahui keberadaannya hingga kini. Karena itu, kata Munir, sebelum ada keputusan pengadilan terhadap Prabowo, maka tak dibenarkan tindakan apapun terhadap segala aktivitasnya.
Seperti Munir, Gus Dur juga demikian. Bagi Gus Dur ada sesuatu yang jauh lebih penting dari politik apalagi hanya pemilihan presiden yaitu kemanusiaan. Sebab, perjuangan untuk kemanusiaan adalah perjuangan jangka panjang, bahkan sepanjang hayat, bukan sekadar dukung atau menolak calon presiden.
Dengan demikian, publik bisa bertanya atau membayangkan, pernahkah Presiden Yudhoyono memiliki pikiran seperti kedua tokoh di atas? Jangan-jangan bagi seorang Yudhoyono politik atau kekuasaan adalah yang utama, sedang kemanusiaan hanya penghias kehidupan.
Itu sebabnya, tak heran, mengapa Presiden Yudhoyono tak mengerahkan segala upaya untuk mencari 13 orang itu. [*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar