BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah dan Rumusannya
Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan salah satu
lembaga yang keberadaannya perluditelaah dan diteliti sejak Undang-Undang Nomor
22 Tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah1 (UU 22/1999) maupun setelah
undang-undangitu dicabut oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah2 (UU 32/2004)3, karena dengan kehadiran undang-undang yang berbasis
otonomi daerah tersebut lahir Dinas
Pertanahan pada provinsi, kabupaten/kota4
yang diberi wewenang menyelenggarakan urusan
pertanahan yang semula merupakan wewenang
BPN5. Perkembangan
demikian itu menimbulkan
aneka persoalan, antaralain konflik
wewenang atau setidak-tidaknya overlapping/ketumpang tindihan
wewenang pada lembaga
yang mengatur pelayanan
di bidang pertanahan.
Jika konflik atau ketumpang tindihan wewenang
itu tidak ditata
dengan baik, maka
pada perspektif hokum
akan muncul persoalan
ketidak pastian hukum, dan
pada perspektif manajemen pemerintahan akan
muncul inefisiensi.
Dalam perspektif sejarahnya, BPN (dahulu
Kantor Agraria ) lahir sebagai konsekuensi yuridis dari Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( UUPA ) 6, sedangkan kehadiran Dinas Pertanahan Kabupaten/Kota lahir akibat
dikeluarkannya UU 22/1999 juncto UU
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah .Rumusan Pasal 13 UU 32/2004:
(1)
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam
skala provinsi yang meliputi:
… . pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota.”
Rumusan
Pasal 14 UU 32/2004:
(1)
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala
kabupaten/kota meliputi: … . pelayanan pertanahan." Berdasarkan ketentuan tersebut,
pelayanan pertanahan merupakan urusan Wajib
pemerintahan daerah provinsi
dan/atau kabupaten/kota. Kewenangan
tersebut lahir karena desentralisasi, dekonsentrasi ataukah asas yang
lain? Kejelasan tentang penerapan asas-asas itu menjadi kata kunci penjelasan
tentang wewenang pemerintahdi bidang pertanahan, karena jika ditilik
berdasarkan UUPA urusan pertanahan merupakan wewenang pemerintah
(pusat).Desentralisasi kewenangan mengenai pertanahan melahirkan pro dan kontra
dimasyarakat luas. Terjadi konflik norma mengenai dasar legalitas Badan
Pertanahan Nasional (BPN) khusunya yang menyangkut tugas pokok dan fungsinya di
daerah provinsi dan kabupaten/kota yang kemudian melahirkan perdebatan panjang
dikalangan masyarakat. Perdebatan bertambah kuat setelah keluar Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor:
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, yang
ditindak lanjuti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34
Tahun 2003 tanggal 31 Mei 2001 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan,
dan Keputusan Presiden tersebut
sekarang ini telah diganti oleh
Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 10
Tahun 2006 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan. [2]
Pada
masa sebelum
itu, pada tahun 2001, desentralisasi pertanahan yang digariskan oleh UU
22/1999 dianulir oleh Presiden
Abdurrahman Wahid dengan
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun
2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Keputusan
Presiden Nomor 42 Tahun 2001.
Berdasarkan ketentuan
Pasal 114 ayat
(6) Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2001 desentralisasi pertanahan ditarik kembali ( atau ditunda pelaksanaannya sampai batas waktu 31 Mei 2003 ). Namun demikian, ternyata sampai dengan penelitian ini dilakukan, tindak lanjut
atas desentralisasi pertanahan tersebut belum juga dilaksanakan secara tegas. Hal itu merupakan salah satu factor
pemicu terjadinya tumpang
tindih kewenangan di
bidang pertanahan antara Pemerintah Pusat
c.q. BPN dengan
Pemerintah Daerah c.q
Provinsi, Kabupaten/Kota.Beberapa
materi mendasar yang dapat
menjadi kendala dalam penyelenggaraan otonomi
bidang pertanahan7 :
1.
Persoalan legalitas hukum pelaksanaan otonomi di bidang pertanahan. Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 yang telah diganti
dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yangmenjadi dasar pelaksanaan otonomi
pertanahan merupakan hukum publik yang secara langsung tidak di berlakukan dalam bidang pertanahan, karena bidang pertanahan juga mengandung aspek hukum
perdata/privat.
2.
Penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan urusan yang berskala nasional, karenanya lebih baik jika dilakukan dalam lingkup nasional. Fungsi pendaftaran
berkaitan dengan penetapan status hukum bidang tanah, batas tanah
dan siapa yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah. Jika
kewenangan ini di serahkan
kepada daerah, ada kekhawatiran
kepentingan pemerintah daerah akan lebih
diutamakan dengan mengabaikan kebenaran menurut hukum.
3.
Pelayanan bersifat lintas provinsi
seperti pembuatan akta hak tanggungan yang dibuat oleh
seorang PPAT yang memiliki wilayah kerja meliputi satu Kabupaten/Kota akan menimbulkan permasalahan mengenai siapa yang
berhak untuk memberikan izin kepada PPAT tersebut untuk membuat akta di luar
wilayah kerjanya apabila pendaftaran dilaksanakan di wilayah otonom yang lain.
4.
Penyelenggaraan otonomi daerah telah menimbulkan kecenderungan
daerah untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bidang pertanahan merupakan
salah satu potensi untuk menambah pendapatan daerah. Untuk kepentingan tersebut,
pemerintah Kabupaten/Kota dapat dengan semena-mena mengeluarkan keputusan pemungutan biaya yang
dibebankan kepada masyarakat
untuk mendaftarkan tanahnya.[3]
5.
Dalam rangka control
penerbitan surat keputusan pemberian hak, Kepala BPN mempunyai kewenangan membatalkan surat keputusan
pemberian hak atas
tanah yang dalam penerbitannya oleh Kepala Kantor Wilayah
BPN Provinsi mengandung cacat hukum.
Apabila
semua kewenangan pemberian hak tanah dan pembatalannya
berada di satu
tangan maka fungsi control dalam penerbitan
surat
keputusan pemberian hak atas
tanah negara yang mengandung cacat hokum tidak akan berjalan
sebagaimana mestinya, sedangkan tugas lain instansi pertanahan adalah menyelesaikan
permasalahan pertanahan.
Dalam Hukum
Administrasi ada persoalan pembagian urusan pemerintahan
sehingga muncul pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah – provinsi – kabupaten/kota.
UU 32/2004 membedakan urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah ( pusat ) dan urusan pemerintah daerah (
provinsi dan kabupaten/kota )Urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota dibedakan ke dalam
urusan wajib dan urusan pilihan.
Persoalannya adalah apakah bidang pertanahan
merupakan urusan pemerintah ataukah pemerintah daerah Jawaban atas persoalan
tersebut, selain UU 32/2004,
hendaknya juga didasarkan pada UUPA. Jika mendasarkan
pada UUPA, maka tampak bahwa bidang pertanahan merupakan urusan pemerintah,
meskipun dapat diserahkan kepada pemerintah daerah {
Pasal 2 ayat (4) UUPA } 8. Dengan demikian,
ketika hendak menata urusan bidang pertanahan ini, kita akan nmengacu
kepada UUPA ataukah UU 32/2004
? Namun, yang terpenting adalah menata urusan
pertanahan agar tidak terjadi
konflik wewenang dalam kerangka
pembaruan agraria.
Secara
skematis, uraian di
atas dapat digambarkan
sebagai berikut. [4]
UUPA
I
I
I
I
I
I
V
BPN
|
Alternatif OUT PUT ( dibidang kelembagaan
):
1. Dualisme institusi:
BPN c.q. Kantor Pertanahan dan Dinas Pertanahan
2. Merjer antara Kantor
Pertanahan dan Dinas
Pertanahan
3. Likuidasi BPN c.q. Kantor
Pertanahan atau Likuidasi Dinas Pertanahan
|
UU 32/2004
I
I
I
V
DINAS PERTANAHAN
|
masalah yang
akan dikaji dan
sekaligus menjadi legal issues
dalam penelitian ini adalah:
B. Rumusan Masalah Bagaimana
implementasi teori residu Dalam
penyerahan atau pelimpahan
atau pembagian urusan
pemerintahan di bidang
pertanahan kepada pemerintah
daerah ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Kerangka Konseptual
a.
Teori Residu
Urusan
Pemerintah Daerah: Provinsi,
Kabupaten/Kota ( UPDPKK ) sama
dengan Urusan Pemerintahan Secara Umum (
UPU ) dikurangi Urusan Pemerintahan Pusat
( UPP ) atau jika
dituliskan dengan rumus
menjadi sebagai berikut:
Pelayanan
dasar selalu berkaitan
dengan fungsi pelayanan
public yang dilakukan oleh
pemerintah. Pelayanan dasar
selalu dilakukan oleh
aparat penyelenggara pelayan public
yaitu para pejabat,
pegawai dan setiap
orang yang bekerja di dalam
organisasi penyelenggara. Pelayanan
publik di dalam
Hukum Administrasi di kaji dalam
pendekatan fungsionaris, yaitu
dengan titik pijak
bahwa yang melaksanakan
kekuasaan pemerintahan adalah
pejabat (orang). Oleh
karena itu yang menjadi
perhatian dalam pendekatan
fungsionaris adalah perilaku
aparat dalam melakukan pelayanan
publik. Dengan pendekatan
ini, norma Hukum Administrasi tidak
hanya meliputi norma
pemerintahan tetapi norma
perilaku aparat (overheidsgedrag). Norma
perilaku diukur dengan
konsep maladministrasi.
Istilah maladministrasi digunakan
sebagai dasar penilaian
perilaku aparat atau pejabat
public dalam rangka
memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Menelaah arti kata maladministrasi, berasal
dari Bahasa Latin malum yang artinya jahat
(jelek). Istilah administrasi
sendiri dari Bahas
Latin administrare yang berarti
melayani. Kalau dipadukan
kedua istilah tadi
berarti pelayanan yang [5]
jelek, sedangkan pelayanan itu dilakukan oleh pejabat publik.10 dalam kaitan
dengan maladministrasi E.I. Sykes, mengemukakan “the most
appropriate general description is
that his works
is directed at
the correction of
case ofmaladministration a term
which has been described as including bias, neglect, delay, inattention,
incompetence, ineptitude, perversity,
turpitude and arbitrariness11”. Ada dua
(2) perilaku dasar
bagi perilaku aparat,
yaitu: sikap melayani (dienstbaarheid), betrouwbaarheid (terpercaya) yang
meliputi: openheid (keterbukaan),
nauwgezetheid (kehati-hatian,
kecermatan) integriteit (integritas), soberheid (kesederhanaan),
eerlijkheid (kehormatan).12
Pelayanan
dasar di bidang
pertanahan yang menjadi
urusan pemerintah daerah menurut
PP Nomor 38 Tahun
2007 meliputi 9
(sembilan) sub bidang:
1)
izin lokasi,
2)
pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
3)
penyelesaian sengketa tanah garapan,
4)
penyelesaian masalah ganti kerugian
dan santunan tanah
untuk pembangunan,
5)
penetapan subyek dan
obyek redistribusi tanah,
serta ganti kerugian
tanah kelebihan maksimum dan tanah
absentee,
6) penetapan
tanah ulayat
7)
pemanfaatan dan penyelesaian
masalah tanah kosong,
8)
izin membuka tanah,
9)
perencanaan penggunaan tanah
wilayah kabupaten / kota.
2. Otonomi
Pertanahan Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah
Kajian
otonomi pertanahan berdasarkan
Undang-undang Pemerintahan
Daerah secara teoritik
tidak bias dilepaskan
dari teori hukum
public yang merupakan
obyek kajian Hukum
Administrasi. Kajian Hukum
Administrasi menyangkut penggunaan
wewenang yang dilakukan
oleh pemerintah, pengendalian yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap
rakyatnya, partisipasi dari rakyat
atas penggunaan yang
dilakukan oleh pemerintah
dan pada akhirnya
rakyat memerlukan
perlindungan hokum agar
pemerintah dalam menggunakan [6]
kewenangannya tidak sewenang-wenang. Sejalan dengan deskripsi demikian,
patutlah diperhatikan pendapat
H. B. Jacobini13
yang mendefinisikan Hukum Administrasi sebagai
berikut: “definition of
administrative law contain
several or all of
the following components :
control of administration, the
legal rules, both internal
and external, emerging
from administrative agencies,
the concerns and procedures pertinent
to remedying legal
injury to individuals
caused by government
entities and their
agents, and courts
decisions pertinent to
all or to parts
of these” dan lebih
lanjut dikatakan bahwa
dalam Hukum Administrasi terdapat empat
elemen yaitu:1 4
1)
The administrative organizations of the state
2)
The study of administrative activity
3)
The means of
action by which
administration is in
fact carried out
particulary the personal
employed and the material level utilized
4)
The patterns on litigation or yudicial control of administration.
Berdasarkan paparan di atas maka di dalam mengkaji
kedudukan lembaga pertanahan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konsep
Hukum Administrasi karena Hukum Administrasi mengkaji tentang kewenangan
lembaga tersebut di bidang pertanahan. Seperti diketahui, Negara Indonesia
sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan kekuasaan kepada
daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pengaturan mengenai hubungan
antara pusat dan daerah dalam konteks negara kesatuan merupakan suatu yang
sangat penting untuk dikaji dan dianalisis agar tidak terdapat kendala dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan, atau setidak-tidaknya dapat
dilakukan minimalisasi kendala penyelenggaraan otonomi daerah. Kelahiran satuan
pemerintahan tingkat daerah adalah konsekuensi dari konsep pembagian dan
pembatasan kekuasaan sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagaimana
diketahui, bahwa dalam tataran teoritis dikenal pembagian kekuasaan secara
horizontal dan vertikal. Pembagian
kekuasaan
secara horizontal adalah suatu pembagian kekuasaan yang kekuasaan dalam suatu
negara dibagi dan diserahkan kepada lembaga-lembaga negara. Sedangkan pembagian
kekuasaan secara vertikal merupakan suatu pembagian kekuasaan antara pemerintah
pusat dengan satuan pemerintah lainnya yang lebih rendah. Pembagian kekuasaan
secara vertikal tersebut lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat
(1),ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat
(7)
UUD 1945. Walaupun otonomi daerah ditetapkan dengan menganut sistemotonomi
luas, pelaksanaan otonomi tersebut tentunya tidak dapat melepaskan dari konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945. Hal tersebut dikarenakan bahwa “oleh karena Negara Indonesia itu
suatu eenheidsstaat, maka negara kesatuan tidak akan mempunyai daerah
dalam lingkungannya yang bersifat staat juga”.[7]
Menurut Bagir Manan,15 di dalam
pelaksanaan otonomi daerah terdapat asas desentralisasi yang mengandung
makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak
semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh
satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan teritorial
maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan
dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan.
Dengan demikian, desentralisasi merupakan
pengakuan hak atau penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah. Desentralisasi
dapat dibedakan ke dalam desentralisasi territorial dan desentralisasi
fungsional. Desentralisasi teritorial melahirkan pemerintahan daerah
yang otonom, sedangkan dekosentrasi adalah penugasan kepada pejabat atau
dinas-dinas yang mempunyai hubungan hirarkhis dalam suatu badan pemerintahan
untuk mengurus tugas-tugas tertentu yang disertai hak untuk mengatur dan
membuat keputusan dalam masalah-masalah tertentu, pertanggungjawaban terakhir
tetap pada badan pemerintahan yang bersangkutan.
Wesber mengatakan
desentralisasi diartikan sebagai “to decentralize means to devide and
distribute, as governmental administration; to withdraw from the center or
place of concentration”, sedangkan Rondinelli dan Cheema menyatakan
bahwa desentralisasi adalah ……. the transfer of planning decision
making, or administrative authority from the central government to its field
organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal
organizations.16
Pendapat tersebut di atas senada dengan pendapat The
Liang Gie yang menyatakan bahwa desentralisasi adalah pelimpahan
wewenang untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok
penduduk yang mendiami suatu wilayah. Satuan organisasi pemerintahan itu
berikut lingkungan wilayahnya disebut daerah otonom. Wewenang untuk menyelenggarakan
segenap kepentingan setempat yang diterima oleh satuan organisasi pemerintah
itu dinamakan otonomi. Aparatur daerah otonom yang memegang otonomi ini
disebut pemerintahan daerah, sedangkan segenap penyelenggaraan wewenang
untuk kepentingan setempat tersebut berikut kewajiban, tugas dan
tanggungjawabnya tercakup dalam istilah pemerintah daerah. Dekonsentrasi adalah
pelimpahan dalam rangka jabatan yang bermaksud memberikan wewenang dari pemerintah
pusat kepada para pejabat pemerintah itu sendiri menurut tingkat-tingkat
hirarkhis. Seseorang pejabat pemerintah pusat diberi wewenang untuk
menyelenggarakan pemerintahan dalam suatu lingkungan wilayah tertentu yang
lazimnya disebut daerah administratif. Jadi dekonsentrasi tidak
menimbulkan pemerintahan daerah, melainkan pemerintahan oleh pejabat atau
instansi pusat di daerah. Memperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dengan kekuasaan-kekuasaan
tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang diselenggarakan berdasarkan pertimbangan,
inisiatif dan administrasi sendiri. Dalam desentralisasi akan dijumpai proses
pembentukan daerah yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan daerahnya,
disertai dengan pendelegasian kewenangan-kewenangan [8] atau
kekuasaan atas pengelolaan urusan atau kegiatan tertentu. Menurut Smith, pendelegasian
kekuasaan dari tingkat tertinggi ke tingkat yang lebih rendah, dalam hirarkhi
teritorial meliputi dua aspek, pertama syarat pembatasan wilayah (the
limitation of areas) karena adanya pembagian territorial negara. Kedua, penyerahan
wewenang (the delegation of authority). (….”that decentralization involves
one of more division of the state’s territory).
Ketentuan tentang otonomi daerah yang tercakup dalam
ketentuan Pasal 18 UUD 1945 lebih lanjut diatur dalam UU 22/1999 yang telah
dicabut oleh UU 32/2004. Berdasarkan paparan di atas, urusan pertanahan
mengalami perubahan yang sangat mendasar dengan diberlakukannya UU 22/1999
terutama berdasarkan ketentuan Pasal 11 yang menetapkan bahwa kewenangan daerah
kabupaten dan daerah kota sebagai daerah otonom mencakup semua kewenangan
pemerintahan selain kewenangan yang yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah provinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan
oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan,
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal,
lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Ketentuan
tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom18. Meskipun UU 22/1999 telah diganti dengan UU 32/2004, tetapi
substansi kewenangan pertanahan masih dalam kewenangan pemerintah daerah
kabupaten atau kota. Hal itu termuat dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU
32/2004 yang menyatakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala
kabupaten atau kota meliputi antara lain pelayanan di bidang pertanahan.
Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan [9]
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebagai pengganti dari
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000.
3. Implementasi
Teori Residu ke dalam UU 32/2004.
Operasionalisasi teori residu yang menyangkut bidang
pertanahan dalam UU 32/2004 dan peraturan pelaksanaannya tampak bias.
Berdasarkan UU 32/2004, kewenangan yang dimiliki oleh daerah Otonom diatur
masing-masing pada Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 14.
Rumusan
Pasal 10 UU 32/2004:
(1)
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini
ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2)
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya
untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3)
Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
meliputi:
a.
Politik luar negeri;
b.
Pertahanan;
c.
Keamanan;
d.
Yustisi;
e.
Moneter dan fiskal nasional; dan
f.
Agama
(4)
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah
menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada
perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan
kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
(5)
Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat :
a.
Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b.
Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur, selaku wakil
Pemerintah; atau
c.
Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan
asas tugas pembantuan.
Rumusan
Pasal 13 UU 32/2004:
(2)
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan
urusan dalam skala provinsi yang meliputi: … pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota….”.
Rumusan
Pasal 14 UU 32/2004:
(2)
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan
urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: m. pelayanan pertanahan….”
Mempertegas pola pembagian kewenangan yang
ditentukan pasal-pasal tersebut di atas dalam peraturan pelaksanaannya yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota telah dibuat daftar lengkap mengenai kewenangan Pemerintah dan
kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom. Penyelenggaraan desentralisasi
mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah
Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara
bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, keamanan, moneter dan fiscal
nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara
bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah
urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
urusan Pemerintah.Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang
bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan
pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintaah daerah yang terkait dengan pelayanan dasar
(basic services) bagi masyarakat seperti pendidikan dasar, kesehatan,
lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan
yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintah
daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi
unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan
diluar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan
daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus
diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Namun mengingat
terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah , maka
prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan
urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan
masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi dan kekhasan daerah yang
bersangkutan. Diluar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan
sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap tingkat
pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan
kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan
atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa.
Dengan pola pembagian seperti tersebut di atas, baik
dalam UU 32/2004 maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, nampak
bahwa keduanya menganut pola residu. Berdasarkan ketentuan tersebut, pelayanan
pertanahan merupakan urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan/atau
kabupaten/kota. Namun kenyataannya sampai sekarang ini urusan pelayanan
pertanahan masih ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional yang terdiri atas BPN
(Pusat), Kanwil Pertanahan Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota.
4. Wewenang
Pemerintah Daerah Berdasarkan UU 32/ 2004 jo. PP 38/ 2007.
Tujuan hak menguasai dari negara atas tanahyang
termuat dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA yaitu untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Pelaksanaan hak menguasai dari negara atas tanah dapat dikuasakan atau
dilimpahkan kepada daerah daerah swatantra
(pemerintah daerah) dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah. Pernyataan tersebut diatas dapat diselaraskan dengan
pemberlakuan Undang-undang Pemerintahan Daerah baik menurut Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 maupun Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut di atas urusan
pertanahan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Hal ini bermula dari
ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa
kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota sebagai daerah otonom mencakup
semua kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah
daerah provinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh 15 daerah
kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan , kebudayaan,
pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan
hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Ketentuan tersebut ditindaklanjuti
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Meskipun
UU 22/1999 telah diganti dengan UU 32/2004, tetapi substansi kewenangan pertanahan
masih dalam kewenangan pemerintah daerah kabupaten atau kota. Hal ini termuat
dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 yang menyatakan urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten atau
kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi antara lain
pelayanan di bidang pertanahan. Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota sebagai pengganti dari Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000.
5.
Pelayanan Publik (Urusan) di Bidang Pertanahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota.
Pelayanan publik di bidang pertanahan yang menjadi
kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota pada era otonomi daerah
sekarang ini berbeda dengan kewenangan pelayan publik dibidang pertanahan
sebelum diberlakukan otonomi daerah, karena sebelum diberlakukan otonomi daerah
yang didasarkan pada UU 22/1999 maupun UU 32/2004 pelayanan publik di bidang pertanahan
menjadi satu dengan kewenangan lainnya dilakukan oleh pemerintah pusat dalam
hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) beserta perangkatnya yang
ada
di daerah yang melaksanakan tugasnya berdasarkan asas dekonsentrasi. Pelayanan
publik di bidang pertanahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi
dan kabupaten atau kota menurut UU 22/1999 yang telah diganti oleh UU 32/2004
dikuatkan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Atau Kota terutama di Bagian 16 Kedua
tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah,
terutama diatur dalam Pasal 2, Pasal 6 dan Pasal 7.
Rumusan
Pasal 2 ayat (4) PP 38/2007:
(4)
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas 31 (tiga
puluh satu)
bidang
urusan pemerintahan meliputi: a. pendidikan;… . pertanahan;…”.
Rumusan
Pasal 6 PP 38/2007:
(1)
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menjadi kewenangannya.
(2)
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas urusan
wajib dan urusan pilihan.
Rumusan
Pasal 7 PP 38/2007:
(1)
Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar.
(2)
Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pendidikan; … r. pertanahan;…”. Berdasarkan bahan hukum
berupa rumusan pasal-pasal tersebut di atas ditemukan bahwa:
1)
Urusan pemerintahan meliputi 31 (tiga puluh satu) bidang, sedangkan urusan wajib
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten kota meliputi 26
(dua puluh enam) bidang.
2)
Ada 5 (lima) bidang urusan pemerintahan yang tidak “mengalir” ke dalam urusan wajib
pemerintahan daerah yakni:
a)
kehutanan,
b)
energi dan sumber daya mineral,
c)
kelautan dan perikanan,
d)
perdagangan, dan
e)
perindustrian.
3)
Ada 3 (tiga) bidang urusan dengan penyebutan yang berbeda antara pemerintahan dibanding
dengan pemerintahan daerah yakni:
Pemerintahan
Daerah
|
Pemerintahan
|
1.
ketenagakerjaan
|
1.
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
|
2. ketahanan pangan
|
2. pertanian dan ketahanan pangan
|
3. kebudayaan
|
3. kebudayaan dan
pariwisata
|
4)
Urusan bidang pertanahan merupakan bidang yang menjadi urusan pemerintahan
(pusat) sebagaimana tercantum pada huruf i Pasal 2 ayat (4) maupun urusan
pemerintahan daerah provinsi maupun pemerintahan daerah kabupaten atau kota
sebagaimana tercantum pada huruf r Pasal 7 ayat (2) PP 38/2007. Pembagian urusan tersebut dipaparkan dalam
bentuk matriks sebagai terpapar pada halaman berikut.
MATRIKS KEWENANGAN BPN
& PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN
PUSAT
(BPN)
|
DAERAH
(Dinas Pertanahan)
|
Berdasarkan
UUPA
1.
Penyelenggaraan pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah;
2.
Penyelenggaraan penatagunaan tanah nasional;
3.
Penyelenggaraan pengaturan dan pemberian hak-hak atas tanah;
4. Penyelenggaraan
pendaftaran tanah; serta
5.
Pengendalian pertanahan dan pemberdayaan
masyarakat.
Berdasarkan
Perpres No 10 Th 2006
a. Merumuskan
kebijakan nasional di bidang
pertanahan;
b. Merumuskan
kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c. Koordinasi
kebijakan, perencanaan dan program di
bidang
pertanahan;
d. Pembinaan
dan pelayanan administrasi umum di
bidang
pertanahan;
e.
Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei,
pengukuran dan
pemetaan di bidang pertanahan;
f. Pelaksanaan
pendaftaran tanah dalam rangka
menjamin
kepastian hukum;
g. Pengaturan
dan penetapan hak-hak atas tanah;
h. Pelaksanaan
penatagunaan tanah, reformasi agraria
dan penataan
wilayah-wilayah khusus;
i. Penyiapan
administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja
sama dengan Departemen Keuangan;
j. Pengawasan
dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
k. Kerjasama
dengan lembaga-lembaga lain;
l.
Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan,
perencanaan
dan program di bidang pertanahan;
m.
Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
n. Pengkajian
dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;
o. Pengkajian
dan pengembangan hukum pertanahan;
p. Penelitian
dan pengembangan di bidang pertanahan;
q. Pendidikan,
latihan dan pengembangan sumber daya
manusia di
bidang pertanahan;
r. Pengelolaan
data dan informasi di bidang pertanahan
s. Pembinaan
fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;
t. Pembatalan dan penghentian hubungan
hukum antara orang , dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
|
Berdasarkan
PP No 38 Th 2007
1) izin
lokasi,
2) pengadaan
tanah untuk kepentingan umum,
3)
penyelesaian sengketa tanah garapan,
4)
penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan,
5) penetapan
subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan
maksimum dan
tanah absentee,
6) penetapan
tanah ulayat
7) pemanfaatan
dan penyelesaian masalah tanah kosong,
8) izin
membuka tanah,
9) perencanaan
penggunaan tanah wilayah kabupaten / kota.
|
Seperti
telah diutarakan di atas, yang dimaksud urusan pemerintahan wajib adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait
dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti yang
disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 38 Tahun 2007.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
:
Kewenangan pemerintah ( pusat) di
bidang pertanahan yang dibagi dengan Pemerintahan Daerah Provisni,
Kabupaten/Kota meliputi: izin lokasi, pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian dan
santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subyek dan obyek redistribusi
tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee,
penetapan tanah ulayat, pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, izin
membuka tanah, perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten / kota. Teori
residu dalam penyerahan atau pelimpahan atau pembagian urusan pemerintahan di
bidang pertanahan dari pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah
diimplementasikan secara semu, artinya distribusi wewenang urusan di bidang
pertanahan yang dilimpahkan dari 19 pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah
tidak lebih sekedar urusan yang bersifat administratif dalam arti bersifat
pelayanan di bidang administrasi pertanahan.
Saran
:
Perlu ada pengaturan yang tegas
tentang pembagian wewenang dibidang pertanahan antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota sehingga tidak
ada kerancuan pembagian wewenang dibidang pertanahan diantara pemerintah pusat
dan daerah. Hal ini perlu dilakukan karena dalam peraturan selama ini
menunjukkan ketidak konsistenan dalam pembagian kewenangan dibidang pertanahan,
sehingga menyebabkan tarik ulur antara pemerintah pusat dan daerah apalagi
sekarang ini ada eforia otonomi daerah sehingga daerah-daerah ingin mengambil
kewenangan terutama dibidang pertanahan untuk menjadi salah satu sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
DAFTAR
PUSTAKA
Campbell,
Enid, et.al., Legal Research (Materials and Methods), The Law Book
Company
Ltd., Forth Edition, Sydney,1996.
Cheema,
G Shabbir, et.al, Decentralization and Development (Policy Implementation in
Developing
Countries), London, Sage Publications,1998.
David,
Wong S.Y.,Tenure and Land Dealing in The Malay States, Singapore
University
Press,
1977.
Garner,
Bryan A, Black’s Law Dictionary, Sevent Edition, West Group, St. Paul
Minn,1999.
Gie,
The Liang, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia,
Jilid
III,
Liberty, Jogjakarta.
______________,
Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal Reasoning), Gadjah
Mada
University Press, 2005.
20
Harsono,
Boedi (I), Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok
Agraria – Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,
1994.
_____________
(II). Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Agraria,
Djambatan, Jakarta, 2000.
Jacobini,
H.B., An Introduction to Comparative Administrative Law, Oceana Publications
Inc,
New York,1991.
Joe
Cursley & Kate Green, Land Law, Palgrave Law Masters, 2001.
Manan,
Bagir (I), Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar
Harapan, Jakarta ,1994.
__________
(II), Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum, Jogjakarta,
2000.
Marzuki,
Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2003.
Neumann
Jr, Richard K., Legal Reasoning and Legal Writing (Structure, Strategy, an
Style),
Aspen
Law & Business, New York, 2001.
Rombauer,
Marjorie Dick, Legal Problem Solving (Analysis, Reasonong and Writing), 3
rd
ed., West Publishing Co., St. Paul Minn,1978.
Smith,
Roger J, Property Law, Fifth edition, Pearson Education Limited,
Edinburgh Gate,
Harlow,
Essex CM20 2 JE United Kindom, 2006.
Sumardjono,
Maria, S.W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi,
Kompas,
Jakarta, 2001.
Sykes,
E.I. Ba (Qld) LLD (Melb) et.al., General Principles Of Administrative Law,
Third
Edition,
Butterworth, Sidney,1989.
Watt,
Robert, Concise Legal Research, 4 th.ed., The Federation Press,
NSW,2001.
MAKALAH
Djatmiati,
S. Tatiek, Faute Personelle dan Faute de Service Dalam Tanggung Gugat
Negara,
Yuridika,
Vol.19 No. 4 Juli-Agustus 2004 : 352-363.
Hadjon,
Philipus M, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Makalah, Fakultas
Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, 1994.
Santoso,
Taufik Imam, Implikasi Kebijakan Sumber Daya Agraria Pasca TAP MPR
Nomor
IX/2001 dan Keppres Nomor 34 /2003 di daerah Dari Sudut Pandang
Pelaku
Usaha, Makalah, Malang, 2003.
21
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA).
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
Tahun 2000-2004.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten Atau Kota.
Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
Di Bidang Pertanahan.
Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan.
Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Pelayanan Pablik
Indonesia (TLNRI) Tahun 2004
Nomor 3839
2 Lembaran Negara Republik
Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Tahun 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia (TLNRI) Tahun
2004 Nomor 4438
3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku oleh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
4 Contoh Kabupaten/Kota yang
membentuk Dinas Pertanahan: Kota Depok, Kabupaten Nganjuk.,
Kabupaten Bolaang Mongondo,
Kabupaten Gorontalo. Sedangkan Kabupaten Minahasa membentuk
Badan Pertanahan.
5
Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijaksanaan Nasional di Bidang Pertanahan
(TLN)
Tahun 1960 Nomor 2043.
[3]
H. Taufik
Iman Santoso, Implikasi Kebijakan Sumber Daya Agraria Pasca Tap MPR No.
IX/2001 dan
Keputusan
Presiden No. 34 Tahun 2003 di Daerah dari Sudut Pandang Pelaku Usaha, Malang,
2003.
[4]
8 Rumusan Pasal 2
ayat (4) UUPA: “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat (2) pasal ini digunakan
untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang
merdeka,
berdaulat, adil dan makmur”.
rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap
warga negara dan penduduk atas
suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan
publik. Bandingkan menurut Mr. NE. Algra, et.al., Kamus Istilah
Hukum Fockema
Andreae,
Belanda Indonesia, Bina Cipta, Cet. I, Jakarta, 1983, h.363, pelayanan
publik adalah urusan yang terbuka
untuk umum, kepentingan umum. Urusan yang terbuka untuk
umum
meliputi semua bidang yang berkaitan dengan publik.
Yuridika, Vol.19
No.4 Juli-Agustus 2004, h. 361.
11 E.I. Sykes BA
(Qld) LLD (Melb) et.al., General Principles of Administrative Law,
Third Edition,
Butterworth,
Sidney, 1989, h. 21.
12 Tatiek Sri Djatmiati, Op.cit.,h. 362.
[7]
13 H.B. Jacobini, An
Introduction to Comparative Administrative Law, Oceana Publications
Inc, New
York, 1991, h.
3.
14 Ibid, h. 4.
Implementation
in Developing Countries), Sage Publications Beverly
Hills/London/New Delhi. h. 7.
17 The Liang Gie, Pertumbuhan
Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Liberty,
Yogjakarta,1995,h.
38-39.
Republik
Indonesia (TLNRI) Tahun 2000 Nomor 3952.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar