Rabu, 24 Juni 2015

kewenangan pertanahan pada era otonomi daerah



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah dan Rumusannya
Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan salah satu lembaga yang keberadaannya perluditelaah dan diteliti sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah1 (UU 22/1999) maupun setelah undang-undangitu dicabut oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah2 (UU 32/2004)3, karena dengan kehadiran undang-undang yang berbasis otonomi daerah tersebut  lahir  Dinas  Pertanahan  pada provinsi, kabupaten/kota4  yang diberi  wewenang  menyelenggarakan  urusan  pertanahan  yang semula merupakan wewenang  BPN5.  Perkembangan  demikian  itu  menimbulkan  aneka persoalan,  antaralain  konflik  wewenang  atau  setidak-tidaknya  overlapping/ketumpang tindihan wewenang   pada  lembaga  yang  mengatur  pelayanan  di  bidang  pertanahan.  Jika  konflik atau ketumpang tindihan  wewenang  itu  tidak  ditata  dengan  baik,  maka  pada  perspektif  hokum  akan  muncul  persoalan  ketidak pastian  hukum,  dan  pada  perspektif  manajemen pemerintahan  akan  muncul  inefisiensi. 
Dalam  perspektif  sejarahnya,  BPN  (dahulu  Kantor  Agraria )  lahir  sebagai konsekuensi  yuridis  dari  Undang-Undang  Nomor  5 Tahun  1960 tentang  Peraturan Dasar  Pokok-Pokok  Agraria  ( UUPA ) 6,  sedangkan  kehadiran  Dinas  Pertanahan Kabupaten/Kota  lahir  akibat  dikeluarkannya  UU 22/1999  juncto  UU  32/2004  tentang Pemerintahan  Daerah .Rumusan  Pasal  13 UU   32/2004:
  [1]

(1) Urusan  wajib  yang  menjadi  kewenangan  pemerintahan  daerah  provinsi  merupakan   urusan dalam  skala  provinsi  yang  meliputi:  … . pelayanan  pertanahan  termasuk  lintas kabupaten/kota.” 
Rumusan  Pasal  14  UU  32/2004:
(1) Urusan  wajib  yang  menjadi  kewenangan  pemerintahan  daerah  untuk  kabupaten/kota merupakan  urusan  yang  berskala  kabupaten/kota  meliputi:  … .  pelayanan  pertanahan." Berdasarkan ketentuan tersebut, pelayanan pertanahan merupakan urusan Wajib  pemerintahan  daerah  provinsi  dan/atau  kabupaten/kota.  Kewenangan  tersebut lahir karena desentralisasi, dekonsentrasi ataukah asas yang lain? Kejelasan tentang penerapan asas-asas itu menjadi kata kunci penjelasan tentang wewenang pemerintahdi bidang pertanahan, karena jika ditilik berdasarkan UUPA urusan pertanahan merupakan wewenang pemerintah (pusat).Desentralisasi kewenangan mengenai pertanahan melahirkan pro dan kontra dimasyarakat luas. Terjadi konflik norma mengenai dasar legalitas Badan Pertanahan Nasional (BPN) khusunya yang menyangkut tugas pokok dan fungsinya di daerah provinsi dan kabupaten/kota yang kemudian melahirkan perdebatan panjang dikalangan masyarakat. Perdebatan bertambah kuat setelah keluar Ketetapan Majelis Permusyawaratan  Rakyat Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan  Sumber  Daya  Alam,  yang  ditindak lanjuti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tanggal 31 Mei 2001 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, dan Keputusan  Presiden  tersebut  sekarang  ini  telah  diganti  oleh  Peraturan  Presiden  Republik  Indonesia  Nomor  10  Tahun 2006  tentang Kebijakan  Nasional  di  Bidang Pertanahan. [2]
Pada  masa  sebelum   itu,  pada  tahun  2001,  desentralisasi  pertanahan  yang digariskan  oleh  UU  22/1999  dianulir  oleh  Presiden  Abdurrahman  Wahid  dengan mengeluarkan  Keputusan  Presiden  Nomor  62  Tahun  2001 tentang  Perubahan  atas Keputusan  Presiden  Nomor  166  Tahun  2000  tentang Kedudukan,  Tugas,  Fungsi, Kewenangan,  Susunan  Organisasi  dan  Tata  Kerja  Lembaga  Pemerintah  Non-Departemen  sebagaimana  telah  diubah  beberapa  kali  terakhir  dengan  Keputusan  Presiden  Nomor  42  Tahun  2001.  
Berdasarkan  ketentuan  Pasal  114  ayat  (6)  Keputusan Presiden  Nomor 42  Tahun 2001  desentralisasi  pertanahan  ditarik  kembali  ( atau ditunda  pelaksanaannya  sampai  batas  waktu  31  Mei  2003 ).  Namun  demikian,  ternyata sampai  dengan penelitian  ini  dilakukan,  tindak  lanjut  atas  desentralisasi  pertanahan tersebut  belum  juga  dilaksanakan  secara   tegas. Hal  itu  merupakan  salah  satu  factor pemicu  terjadinya  tumpang  tindih  kewenangan  di  bidang  pertanahan  antara Pemerintah  Pusat   c.q.  BPN  dengan  Pemerintah  Daerah   c.q  Provinsi,  Kabupaten/Kota.Beberapa materi  mendasar   yang dapat  menjadi  kendala  dalam penyelenggaraan  otonomi  bidang  pertanahan7 :
1.  Persoalan  legalitas  hukum  pelaksanaan  otonomi  di  bidang  pertanahan.  Undang-Undang nomor  22  tahun 1999  yang  telah  diganti  dengan  Undang-Undang  Nomor  32  tahun  2004  yangmenjadi dasar pelaksanaan otonomi pertanahan merupakan hukum publik yang secara langsung tidak    di berlakukan  dalam  bidang  pertanahan,  karena  bidang  pertanahan  juga mengandung  aspek  hukum  perdata/privat.
2.  Penyelenggaraan  pendaftaran  tanah  merupakan  urusan  yang  berskala  nasional,  karenanya lebih  baik  jika  dilakukan  dalam  lingkup  nasional.  Fungsi  pendaftaran  berkaitan  dengan penetapan  status  hukum  bidang  tanah,  batas  tanah  dan  siapa  yang  mempunyai  hubungan hokum  dengan  tanah.  Jika  kewenangan  ini  di serahkan  kepada  daerah,  ada  kekhawatiran kepentingan  pemerintah  daerah  akan  lebih  diutamakan  dengan  mengabaikan  kebenaran menurut  hukum.
3.  Pelayanan  bersifat  lintas  provinsi  seperti  pembuatan  akta  hak  tanggungan  yang  dibuat  oleh seorang PPAT yang memiliki wilayah kerja meliputi satu Kabupaten/Kota akan  menimbulkan permasalahan mengenai siapa yang berhak untuk memberikan izin kepada PPAT tersebut untuk membuat akta di luar wilayah kerjanya apabila pendaftaran dilaksanakan di wilayah otonom yang lain.
4.  Penyelenggaraan  otonomi daerah telah menimbulkan kecenderungan daerah untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bidang pertanahan merupakan salah satu potensi untuk menambah  pendapatan  daerah. Untuk  kepentingan   tersebut,  pemerintah   Kabupaten/Kota  dapat  dengan  semena-mena  mengeluarkan  keputusan  pemungutan  biaya  yang  dibebankan kepada  masyarakat   untuk mendaftarkan   tanahnya.[3]
5.  Dalam  rangka  control  penerbitan  surat  keputusan  pemberian  hak,  Kepala  BPN  mempunyai kewenangan  membatalkan  surat  keputusan  pemberian  hak  atas  tanah  yang  dalam penerbitannya  oleh  Kepala  Kantor  Wilayah  BPN  Provinsi  mengandung  cacat  hukum.  Apabila  semua  kewenangan  pemberian  hak  tanah  dan  pembatalannya  berada  di  satu  tangan  maka fungsi  control  dalam  penerbitan  surat   keputusan  pemberian  hak   atas tanah  negara  yang mengandung  cacat  hokum   tidak  akan   berjalan   sebagaimana   mestinya,   sedangkan  tugas  lain  instansi  pertanahan  adalah  menyelesaikan  permasalahan  pertanahan.
  Dalam  Hukum  Administrasi  ada  persoalan  pembagian  urusan  pemerintahan sehingga muncul  pembagian   urusan  pemerintahan  antara   pemerintah   provinsi   – kabupaten/kota.  UU  32/2004  membedakan  urusan  pemerintahan  yang  menjadi  urusan pemerintah  ( pusat )   dan  urusan  pemerintah  daerah  ( provinsi  dan  kabupaten/kota )Urusan  pemerintahan  provinsi   dan kabupaten/kota  dibedakan   ke  dalam  urusan  wajib dan  urusan  pilihan.
 Persoalannya  adalah  apakah  bidang  pertanahan  merupakan  urusan  pemerintah ataukah  pemerintah  daerah   Jawaban  atas  persoalan  tersebut,  selain  UU  32/2004, hendaknya  juga   didasarkan  pada  UUPA.  Jika  mendasarkan  pada  UUPA,  maka tampak  bahwa  bidang   pertanahan  merupakan  urusan  pemerintah,  meskipun  dapat diserahkan  kepada  pemerintah  daerah  { Pasal  2  ayat  (4)  UUPA } 8.  Dengan  demikian, ketika  hendak  menata  urusan  bidang  pertanahan  ini,  kita  akan  nmengacu  kepada UUPA  ataukah  UU  32/2004 ?  Namun,  yang  terpenting  adalah  menata  urusan pertanahan  agar  tidak  terjadi  konflik  wewenang  dalam  kerangka  pembaruan  agraria.
Secara  skematis,  uraian  di  atas  dapat  digambarkan  sebagai  berikut. [4]

UUPA
I
I
I
I
I
I
V
BPN
Alternatif OUT PUT ( dibidang kelembagaan ): 
1. Dualisme  institusi:   BPN  c.q.  Kantor  Pertanahan dan  Dinas Pertanahan
2. Merjer antara Kantor Pertanahan dan Dinas
Pertanahan
3. Likuidasi BPN c.q. Kantor Pertanahan atau Likuidasi Dinas Pertanahan

UU 32/2004

I
I
I
V
DINAS PERTANAHAN
masalah  yang  akan  dikaji  dan  sekaligus menjadi  legal  issues  dalam  penelitian  ini adalah:
 B. Rumusan Masalah Bagaimana  implementasi  teori  residu Dalam  penyerahan  atau  pelimpahan  atau  pembagian   urusan  pemerintahan  di bidang pertanahan  kepada  pemerintah  daerah ?









BAB II
PEMBAHASAN
1.     Kerangka Konseptual
a. Teori Residu
Urusan  Pemerintah  Daerah:  Provinsi,  Kabupaten/Kota  ( UPDPKK ) sama dengan Urusan Pemerintahan  Secara  Umum  ( UPU )  dikurangi  Urusan Pemerintahan  Pusat  ( UPP )  atau  jika  dituliskan  dengan  rumus  menjadi  sebagai berikut:

 Pelayanan  dasar  selalu  berkaitan  dengan  fungsi  pelayanan  public  yang dilakukan  oleh  pemerintah.  Pelayanan  dasar  selalu  dilakukan  oleh  aparat penyelenggara  pelayan  public  yaitu  para  pejabat,  pegawai  dan  setiap  orang  yang bekerja  di dalam  organisasi   penyelenggara.  Pelayanan  publik  di  dalam  Hukum Administrasi  di kaji  dalam  pendekatan  fungsionaris,  yaitu  dengan  titik  pijak  bahwa yang melaksanakan  kekuasaan  pemerintahan  adalah  pejabat  (orang).  Oleh  karena itu  yang  menjadi  perhatian  dalam  pendekatan  fungsionaris  adalah  perilaku  aparat dalam  melakukan  pelayanan  publik.  Dengan  pendekatan  ini,  norma  Hukum Administrasi  tidak  hanya  meliputi  norma  pemerintahan  tetapi  norma  perilaku aparat  (overheidsgedrag).  Norma  perilaku  diukur  dengan  konsep   maladministrasi. Istilah  maladministrasi  digunakan  sebagai  dasar  penilaian  perilaku  aparat  atau pejabat  public  dalam  rangka  memberikan  pelayanan  kepada  masyarakat. Menelaah  arti  kata  maladministrasi,  berasal  dari  Bahasa  Latin  malum  yang artinya  jahat  (jelek).  Istilah  administrasi  sendiri  dari  Bahas  Latin  administrare yang  berarti  melayani.  Kalau  dipadukan  kedua  istilah  tadi  berarti  pelayanan  yang [5] jelek, sedangkan pelayanan itu dilakukan oleh pejabat publik.10 dalam kaitan dengan maladministrasi E.I. Sykes, mengemukakan “the most appropriate general  description  is  that  his  works  is  directed  at  the  correction  of  case  ofmaladministration a term which has been described as including bias, neglect, delay,  inattention,  incompetence,  ineptitude,  perversity,  turpitude  and  arbitrariness11”. Ada  dua  (2)  perilaku  dasar  bagi  perilaku  aparat,  yaitu:  sikap  melayani (dienstbaarheid), betrouwbaarheid  (terpercaya)  yang  meliputi:  openheid (keterbukaan), nauwgezetheid (kehati-hatian,  kecermatan)  integriteit  (integritas), soberheid (kesederhanaan), eerlijkheid (kehormatan).12
   Pelayanan  dasar  di  bidang  pertanahan  yang  menjadi  urusan  pemerintah daerah  menurut  PP  Nomor 38  Tahun  2007  meliputi  9  (sembilan)  sub  bidang:
1) izin lokasi,
2) pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
3) penyelesaian sengketa tanah garapan,
4) penyelesaian masalah  ganti  kerugian  dan  santunan  tanah  untuk  pembangunan,
5) penetapan  subyek  dan  obyek  redistribusi  tanah,  serta  ganti  kerugian  tanah kelebihan maksimum  dan  tanah  absentee,
6)  penetapan  tanah  ulayat
7) pemanfaatan  dan  penyelesaian  masalah  tanah  kosong,
8) izin  membuka  tanah,
9) perencanaan  penggunaan  tanah  wilayah  kabupaten / kota.


2.     Otonomi Pertanahan Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah
Kajian  otonomi   pertanahan   berdasarkan   Undang-undang   Pemerintahan Daerah  secara   teoritik   tidak   bias  dilepaskan   dari  teori   hukum  public   yang  merupakan  obyek  kajian  Hukum   Administrasi.  Kajian  Hukum  Administrasi  menyangkut  penggunaan   wewenang   yang  dilakukan  oleh  pemerintah, pengendalian  yang  dilakukan oleh  pemerintah  terhadap  rakyatnya,  partisipasi  dari rakyat  atas  penggunaan  yang  dilakukan  oleh  pemerintah  dan   pada  akhirnya  rakyat memerlukan  perlindungan  hokum  agar  pemerintah  dalam menggunakan [6] kewenangannya tidak sewenang-wenang. Sejalan dengan deskripsi demikian, patutlah   diperhatikan   pendapat   H. B. Jacobini13   yang  mendefinisikan  Hukum Administrasi  sebagai  berikut:  definition  of  administrative  law  contain  several or  all  of  the  following  components :  control  of  administration,  the  legal  rules,  both internal  and  external,  emerging  from  administrative  agencies,  the  concerns  and procedures  pertinent   to  remedying  legal  injury  to  individuals  caused   by  government  entities  and  their  agents,  and  courts  decisions  pertinent  to  all  or  to parts  of  these” dan  lebih  lanjut  dikatakan  bahwa  dalam  Hukum  Administrasi terdapat  empat  elemen   yaitu:1 4
1) The administrative organizations of the state
2) The study of administrative activity
3) The  means  of  action  by  which  administration  is  in  fact  carried  out  particulary  the    personal  employed and the material level utilized
4) The patterns on litigation or yudicial control of administration.
Berdasarkan paparan di atas maka di dalam mengkaji kedudukan lembaga pertanahan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konsep Hukum Administrasi karena Hukum Administrasi mengkaji tentang kewenangan lembaga tersebut di bidang pertanahan. Seperti diketahui, Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan kekuasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dalam konteks negara kesatuan merupakan suatu yang sangat penting untuk dikaji dan dianalisis agar tidak terdapat kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan, atau setidak-tidaknya dapat dilakukan minimalisasi kendala penyelenggaraan otonomi daerah. Kelahiran satuan pemerintahan tingkat daerah adalah konsekuensi dari konsep pembagian dan pembatasan kekuasaan sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam tataran teoritis dikenal pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal. Pembagian
kekuasaan secara horizontal adalah suatu pembagian kekuasaan yang kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada lembaga-lembaga negara. Sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal merupakan suatu pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan satuan pemerintah lainnya yang lebih rendah. Pembagian kekuasaan secara vertikal tersebut lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1),ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat
(7) UUD 1945. Walaupun otonomi daerah ditetapkan dengan menganut sistemotonomi luas, pelaksanaan otonomi tersebut tentunya tidak dapat melepaskan dari konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut dikarenakan bahwa “oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka negara kesatuan tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga”.[7]
Menurut Bagir Manan,15 di dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat asas desentralisasi yang mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan.
Dengan demikian, desentralisasi merupakan pengakuan hak atau penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah. Desentralisasi dapat dibedakan ke dalam desentralisasi territorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial melahirkan pemerintahan daerah yang otonom, sedangkan dekosentrasi adalah penugasan kepada pejabat atau dinas-dinas yang mempunyai hubungan hirarkhis dalam suatu badan pemerintahan untuk mengurus tugas-tugas tertentu yang disertai hak untuk mengatur dan membuat keputusan dalam masalah-masalah tertentu, pertanggungjawaban terakhir tetap pada badan pemerintahan yang bersangkutan.


Wesber mengatakan desentralisasi diartikan sebagai “to decentralize means to devide and distribute, as governmental administration; to withdraw from the center or place of concentration”, sedangkan Rondinelli dan Cheema menyatakan bahwa desentralisasi adalah ……. the transfer of planning decision making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal organizations.16
Pendapat tersebut di atas senada dengan pendapat The Liang Gie yang menyatakan bahwa desentralisasi adalah pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah. Satuan organisasi pemerintahan itu berikut lingkungan wilayahnya disebut daerah otonom. Wewenang untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat yang diterima oleh satuan organisasi pemerintah itu dinamakan otonomi. Aparatur daerah otonom yang memegang otonomi ini disebut pemerintahan daerah, sedangkan segenap penyelenggaraan wewenang untuk kepentingan setempat tersebut berikut kewajiban, tugas dan tanggungjawabnya tercakup dalam istilah pemerintah daerah. Dekonsentrasi adalah pelimpahan dalam rangka jabatan yang bermaksud memberikan wewenang dari pemerintah pusat kepada para pejabat pemerintah itu sendiri menurut tingkat-tingkat hirarkhis. Seseorang pejabat pemerintah pusat diberi wewenang untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam suatu lingkungan wilayah tertentu yang lazimnya disebut daerah administratif. Jadi dekonsentrasi tidak menimbulkan pemerintahan daerah, melainkan pemerintahan oleh pejabat atau instansi pusat di daerah. Memperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dengan kekuasaan-kekuasaan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang diselenggarakan berdasarkan pertimbangan, inisiatif dan administrasi sendiri. Dalam desentralisasi akan dijumpai proses pembentukan daerah yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan daerahnya, disertai dengan pendelegasian kewenangan-kewenangan [8] atau kekuasaan atas pengelolaan urusan atau kegiatan tertentu. Menurut Smith, pendelegasian kekuasaan dari tingkat tertinggi ke tingkat yang lebih rendah, dalam hirarkhi teritorial meliputi dua aspek, pertama syarat pembatasan wilayah (the limitation of areas) karena adanya pembagian territorial negara. Kedua, penyerahan wewenang (the delegation of authority). (….”that decentralization involves one of more division of the state’s territory).
Ketentuan tentang otonomi daerah yang tercakup dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945 lebih lanjut diatur dalam UU 22/1999 yang telah dicabut oleh UU 32/2004. Berdasarkan paparan di atas, urusan pertanahan mengalami perubahan yang sangat mendasar dengan diberlakukannya UU 22/1999 terutama berdasarkan ketentuan Pasal 11 yang menetapkan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota sebagai daerah otonom mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Ketentuan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom18. Meskipun UU 22/1999 telah diganti dengan UU 32/2004, tetapi substansi kewenangan pertanahan masih dalam kewenangan pemerintah daerah kabupaten atau kota. Hal itu termuat dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU 32/2004 yang menyatakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi antara lain pelayanan di bidang pertanahan. Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan [9] Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000.

3.     Implementasi Teori Residu ke dalam UU 32/2004.
Operasionalisasi teori residu yang menyangkut bidang pertanahan dalam UU 32/2004 dan peraturan pelaksanaannya tampak bias. Berdasarkan UU 32/2004, kewenangan yang dimiliki oleh daerah Otonom diatur masing-masing pada Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 14.
Rumusan Pasal 10 UU 32/2004:
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional; dan
f. Agama
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat :
a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur, selaku wakil Pemerintah; atau
c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Rumusan Pasal 13 UU 32/2004:
(2) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: … pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota….”.
Rumusan Pasal 14 UU 32/2004:
(2) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: m. pelayanan pertanahan….”
Mempertegas pola pembagian kewenangan yang ditentukan pasal-pasal tersebut di atas dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota telah dibuat daftar lengkap mengenai kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, keamanan, moneter dan fiscal nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah.Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintaah daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintah daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan diluar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah , maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi dan kekhasan daerah yang bersangkutan. Diluar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa.
Dengan pola pembagian seperti tersebut di atas, baik dalam UU 32/2004 maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, nampak bahwa keduanya menganut pola residu. Berdasarkan ketentuan tersebut, pelayanan pertanahan merupakan urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota. Namun kenyataannya sampai sekarang ini urusan pelayanan pertanahan masih ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional yang terdiri atas BPN (Pusat), Kanwil Pertanahan Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota.
4.     Wewenang Pemerintah Daerah Berdasarkan UU 32/ 2004 jo. PP 38/ 2007.
Tujuan hak menguasai dari negara atas tanahyang termuat dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA yaitu untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Pelaksanaan hak menguasai dari negara atas tanah dapat dikuasakan atau dilimpahkan kepada daerah daerah  swatantra (pemerintah daerah) dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Pernyataan tersebut diatas dapat diselaraskan dengan pemberlakuan Undang-undang Pemerintahan Daerah baik menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut di atas urusan pertanahan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Hal ini bermula dari ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota sebagai daerah otonom mencakup semua kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah provinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh 15 daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan , kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Ketentuan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Meskipun UU 22/1999 telah diganti dengan UU 32/2004, tetapi substansi kewenangan pertanahan masih dalam kewenangan pemerintah daerah kabupaten atau kota. Hal ini termuat dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 yang menyatakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten atau kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi antara lain pelayanan di bidang pertanahan. Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000.
5. Pelayanan Publik (Urusan) di Bidang Pertanahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota.
Pelayanan publik di bidang pertanahan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota pada era otonomi daerah sekarang ini berbeda dengan kewenangan pelayan publik dibidang pertanahan sebelum diberlakukan otonomi daerah, karena sebelum diberlakukan otonomi daerah yang didasarkan pada UU 22/1999 maupun UU 32/2004 pelayanan publik di bidang pertanahan menjadi satu dengan kewenangan lainnya dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) beserta perangkatnya yang
ada di daerah yang melaksanakan tugasnya berdasarkan asas dekonsentrasi. Pelayanan publik di bidang pertanahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten atau kota menurut UU 22/1999 yang telah diganti oleh UU 32/2004 dikuatkan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Atau Kota terutama di Bagian 16 Kedua tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah, terutama diatur dalam Pasal 2, Pasal 6 dan Pasal 7.
Rumusan Pasal 2 ayat (4) PP 38/2007:
(4) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu)
bidang urusan pemerintahan meliputi: a. pendidikan;… . pertanahan;…”.
Rumusan Pasal 6 PP 38/2007:
(1) Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menjadi kewenangannya.
(2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Rumusan Pasal 7 PP 38/2007:
(1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar.
(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pendidikan; … r. pertanahan;…”. Berdasarkan bahan hukum berupa rumusan pasal-pasal tersebut di atas ditemukan bahwa:
1) Urusan pemerintahan meliputi 31 (tiga puluh satu) bidang, sedangkan urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten kota meliputi 26 (dua puluh enam) bidang.
2) Ada 5 (lima) bidang urusan pemerintahan yang tidak “mengalir” ke dalam urusan wajib pemerintahan daerah yakni:
a) kehutanan,
b) energi dan sumber daya mineral,
c) kelautan dan perikanan,
d) perdagangan, dan
e) perindustrian.
3) Ada 3 (tiga) bidang urusan dengan penyebutan yang berbeda antara pemerintahan dibanding dengan pemerintahan daerah yakni:
Pemerintahan Daerah
Pemerintahan
1. ketenagakerjaan
1. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
2. ketahanan pangan
2. pertanian dan ketahanan pangan
3. kebudayaan
3. kebudayaan dan pariwisata

4) Urusan bidang pertanahan merupakan bidang yang menjadi urusan pemerintahan (pusat) sebagaimana tercantum pada huruf i Pasal 2 ayat (4) maupun urusan pemerintahan daerah provinsi maupun pemerintahan daerah kabupaten atau kota sebagaimana tercantum pada huruf r Pasal 7 ayat (2) PP 38/2007.  Pembagian urusan tersebut dipaparkan dalam bentuk matriks sebagai terpapar pada halaman berikut.
MATRIKS KEWENANGAN BPN & PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN
PUSAT (BPN)
DAERAH (Dinas Pertanahan)
Berdasarkan UUPA
1. Penyelenggaraan pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah;
2. Penyelenggaraan penatagunaan tanah nasional;
3. Penyelenggaraan pengaturan dan pemberian hak-hak atas tanah;
4. Penyelenggaraan pendaftaran tanah; serta
5. Pengendalian pertanahan dan pemberdayaan
masyarakat.
Berdasarkan Perpres No 10 Th 2006
a. Merumuskan kebijakan nasional di bidang
pertanahan;
b. Merumuskan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di
bidang pertanahan;
d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di
bidang pertanahan;
e. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei,
pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;
f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka
menjamin kepastian hukum;
g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
h. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria
dan penataan wilayah-wilayah khusus;
i. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
j. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
k. Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain;
l. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan,
perencanaan dan program di bidang pertanahan;
m. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
n. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;
o. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
p. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
q. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya
manusia di bidang pertanahan;
r. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan
s. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;
t. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang , dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Berdasarkan PP No 38 Th 2007
1) izin lokasi,
2) pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
3) penyelesaian sengketa tanah garapan,
4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan,
5) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan
maksimum dan tanah absentee,
6) penetapan tanah ulayat
7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong,
8) izin membuka tanah,
9) perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten / kota.
Seperti telah diutarakan di atas, yang dimaksud urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 38 Tahun 2007.








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
            Kewenangan pemerintah ( pusat) di bidang pertanahan yang dibagi dengan Pemerintahan Daerah Provisni, Kabupaten/Kota meliputi: izin lokasi, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan tanah ulayat, pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, izin membuka tanah, perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten / kota. Teori residu dalam penyerahan atau pelimpahan atau pembagian urusan pemerintahan di bidang pertanahan dari pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah diimplementasikan secara semu, artinya distribusi wewenang urusan di bidang pertanahan yang dilimpahkan dari 19 pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah tidak lebih sekedar urusan yang bersifat administratif dalam arti bersifat pelayanan di bidang administrasi pertanahan.

Saran :
            Perlu ada pengaturan yang tegas tentang pembagian wewenang dibidang pertanahan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota sehingga tidak ada kerancuan pembagian wewenang dibidang pertanahan diantara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini perlu dilakukan karena dalam peraturan selama ini menunjukkan ketidak konsistenan dalam pembagian kewenangan dibidang pertanahan, sehingga menyebabkan tarik ulur antara pemerintah pusat dan daerah apalagi sekarang ini ada eforia otonomi daerah sehingga daerah-daerah ingin mengambil kewenangan terutama dibidang pertanahan untuk menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).


DAFTAR PUSTAKA
Campbell, Enid, et.al., Legal Research (Materials and Methods), The Law Book
Company Ltd., Forth Edition, Sydney,1996.
Cheema, G Shabbir, et.al, Decentralization and Development (Policy Implementation in
Developing Countries), London, Sage Publications,1998.
David, Wong S.Y.,Tenure and Land Dealing in The Malay States, Singapore University
Press, 1977.
Garner, Bryan A, Black’s Law Dictionary, Sevent Edition, West Group, St. Paul
Minn,1999.
Gie, The Liang, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid
III, Liberty, Jogjakarta.
______________, Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal Reasoning), Gadjah
Mada University Press, 2005.
20
Harsono, Boedi (I), Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria – Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1994.
_____________ (II). Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Agraria, Djambatan, Jakarta, 2000.
Jacobini, H.B., An Introduction to Comparative Administrative Law, Oceana Publications
Inc, New York,1991.
Joe Cursley & Kate Green, Land Law, Palgrave Law Masters, 2001.
Manan, Bagir (I), Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta ,1994.
__________ (II), Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum, Jogjakarta,
2000.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2003.
Neumann Jr, Richard K., Legal Reasoning and Legal Writing (Structure, Strategy, an
Style), Aspen Law & Business, New York, 2001.
Rombauer, Marjorie Dick, Legal Problem Solving (Analysis, Reasonong and Writing), 3
rd ed., West Publishing Co., St. Paul Minn,1978.
Smith, Roger J, Property Law, Fifth edition, Pearson Education Limited, Edinburgh Gate,
Harlow, Essex CM20 2 JE United Kindom, 2006.
Sumardjono, Maria, S.W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi,
Kompas, Jakarta, 2001.
Sykes, E.I. Ba (Qld) LLD (Melb) et.al., General Principles Of Administrative Law, Third
Edition, Butterworth, Sidney,1989.
Watt, Robert, Concise Legal Research, 4 th.ed., The Federation Press, NSW,2001.
MAKALAH
Djatmiati, S. Tatiek, Faute Personelle dan Faute de Service Dalam Tanggung Gugat
Negara, Yuridika, Vol.19 No. 4 Juli-Agustus 2004 : 352-363.
Hadjon, Philipus M, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Makalah, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994.
Santoso, Taufik Imam, Implikasi Kebijakan Sumber Daya Agraria Pasca TAP MPR
Nomor IX/2001 dan Keppres Nomor 34 /2003 di daerah Dari Sudut Pandang
Pelaku Usaha, Makalah, Malang, 2003.
21
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Atau Kota.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelayanan Pablik






[1] 1 Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Republik
Indonesia (TLNRI) Tahun 2004 Nomor 3839
2 Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Tahun 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 2004 Nomor 4438
3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku oleh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
4 Contoh Kabupaten/Kota yang membentuk Dinas Pertanahan: Kota Depok, Kabupaten Nganjuk.,
Kabupaten Bolaang Mongondo, Kabupaten Gorontalo. Sedangkan Kabupaten Minahasa membentuk
Badan Pertanahan.
5 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijaksanaan Nasional di Bidang Pertanahan

[2] 6 Lembara Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1960 Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara
(TLN) Tahun 1960 Nomor 2043.
[3] H. Taufik Iman Santoso, Implikasi Kebijakan Sumber Daya Agraria Pasca Tap MPR No. IX/2001 dan
Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 di Daerah dari Sudut Pandang Pelaku Usaha, Malang,
2003.
[4] 8 Rumusan Pasal 2 ayat (4) UUPA: “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur”.
[5] 9 Dalam RUU tentang Pelayanan Publik dinyatakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap
warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik. Bandingkan menurut Mr. NE. Algra, et.al., Kamus Istilah
Hukum Fockema Andreae, Belanda Indonesia, Bina Cipta, Cet. I, Jakarta, 1983, h.363, pelayanan
publik adalah urusan yang terbuka untuk umum, kepentingan umum. Urusan yang terbuka untuk
umum meliputi semua bidang yang berkaitan dengan publik.
[6] 10 Tatiek Sri Djatmiati, Faute Personelle Dan Faute De Service Dalam Tanggung Gugat Negara,
Yuridika, Vol.19 No.4 Juli-Agustus 2004, h. 361.
11 E.I. Sykes BA (Qld) LLD (Melb) et.al., General Principles of Administrative Law, Third Edition,
Butterworth, Sidney, 1989, h. 21.
12 Tatiek Sri Djatmiati, Op.cit.,h. 362.
[7] 13 H.B. Jacobini, An Introduction to Comparative Administrative Law, Oceana Publications Inc, New
York, 1991, h. 3.
14 Ibid, h. 4.
[8] 16 G. Shabbir Cheema and Dennis A. Rondinelli, Decentralization and Development (policy
Implementation in Developing Countries), Sage Publications Beverly Hills/London/New Delhi. h. 7.
17 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Liberty,
Yogjakarta,1995,h. 38-39.
[9] 18 Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 2000 Nomor 3952.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar