BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Sesuai
dengan ketentuan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara RI Tahun 2004 No 125), dijelaskan bahwa, diluar 6 (enam)
kewenangan yang dimiliki pemerintah adalah merupakan kewenangan dari pemerintah
daerah. Ini artinya bahwa di luar enam kewenangan tersebut, bidang pemerintahan
yang wajib dilaksanakan oleh daerah provinsi, kabupaten/kota, antara lain
adalah bidang pertanahan. Kendati demikian perlu diperhatikan bahwa dalam
proses peralihan wewenang ini tentunya tidak serta merta hanya melandaskan diri
pada Undang Undang No 32 Tahun 2004 saja, tetapi harus juga memperhatikan
ketentuan perundangan lainnya yang berkaitan, dalam hal ini adalah Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau
biasa disebut dengan singkatan UUPA (LN 1960 No. 104). Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menegaskan bahwa, pelayanan pertanahan merupakan kewenangan daerah
dan idealnya dilaksanakan oleh dinas daerah atau lembaga teknis lainnya sesuai
dengan kebutuhan daerah masing-masing. Kenyataannya setelah Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 dilaksanakan, bahkan sampai sekarang pembagian kewenangan bidang
pertanahan antara pemerintah dan daerah belum juga usai. Pemerintah terkesan
ingin tetap menguasai semua kewenangan di bidang pertanahan, sementara itu
pemerintah daerah juga ingin mendapat bagian urusan pertanahan sesuai
undang-undang. Melihat perkembangannya, pemerintah justru mengeluarkan beberapa
peraturan pelaksanaan ataupun petunjuk pelaksanaan yang membingungkan
pemerintah daerah, bahkan peraturan tersebut justru secara hirarki bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Pemerintah ternyata masih tetap
mempertahankan Kantor Badan Pertanahan Nasioanal, baik di provinsi maupun
Kabupaten/Kota sebagai instansi vertikal dan mempertahankan kewenangan
pertanahan sebagai kewenangan pemerintah, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan
Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Bidang
Pertanahan. Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tersebut menyebutkan
bahwa, Badan Pertanahan Nasional bertugas melaksanakan tugas pemerintah di
bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral, kemudian disebutkan
juga Badan Pertanahan Nasional mempunyai 21 fungsi. Fungsi tersebut antara lain
adalah pengaturan dan penetapan hak atas tanah, pembinaan dan pelayanan
administrasi umum bidang pertanahan serta pelaksanaan penatagunaan tanah,
reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus.
B. RUMUSAN MASALAH
A. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Pemerintah
Daerah Dalam Penyelenggaraan Kewenangan
Di Bidang Pertanahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang
Pertanahan Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
terlahir sebagai respon terhadap perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di
samping itu juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000, mengenai
Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Desentralisasi
dalam undang-undang ini, memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom
untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar bidang yang
menjadi urusan pemerintah. Berdasarkan prinsip otonomi luas tersebut dalam
pelaksanaannya dilakukan secara nyata dan bertanggung jawab yaitu bahwa urusan
pemerintahan dimaksud dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban
yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang
sesuai potensi dan kekhasan daerah. Semua itu diarahkan untuk mencapai tujuan
pemeberian otonomi yaitu untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian dari tujuan nasional. Urusan
pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama
antartingkatan dan susunan pemerintahan atau concurrent. Setiap bidang
urusan pemerintahan yang bersifat concurrent senantiasa terdapat bagian
urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent
tersebut dibagi secara proporsional antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ditetapkan kriteria
pembagian urusan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.19
Eksternalitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan dampak atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal,
maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila
berdampak regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila berdampak nasional
menjadi kewenangan Pemerintah.
Akuntabilitas,
adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa
tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat
pemerintahan yang lebih langsung atau dekat dengan dampak atau akibat dari
urusan yang ditangani tersebut. Artinya akuntabilitas (pertanggungjawaban)
penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan
lebih terjamin. Efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana,
dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang
harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian
urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna
dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan
apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada
Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian
urusan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna bila ditangani oleh Pemerintah
maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah.
B.Kendala-Kendala Yang Dihadapi Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan
Kewenangan Di Bidang Pertanahan
Pengelolaan
pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan kebijakan dalam Pasal 33 ayat
(3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana sampai
dengan amandemen yang ke 4 (empat) secara redaksional tidak mengalami
perubahan. Pasal tersebut menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kandungan makna dalam pasal tersebut, menurut
Winahyu Erwiningsih, memiliki dua garis besar yaitu: pertama, negara menguasai
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; kedua, bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara merupakan suatu konsep yang mendasarkan
pada pemahaman bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari seluruh
rakyat sehingga bagi pemilik kekuasaan, upaya mempengaruhi pihak lain menjadi sentral
yang dalam hal ini dipegang oleh negara. Hak menguasai atas tanah tersebut
pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan bentuk
negara Indonesia sebagai negara kesatuan. Mengingat luas wilayah, hasilguna dan
dayaguna, maka wewenang pemerintah pusat dapat dilimpahkan kepada daerah dengan
medebewind. Prinsip inilah yang dijadikan dasar oleh pemerintah dalam
menyelenggarakan pemerintahan yang berkaitan dengan masalah pertanahan. Intinya
isi dari peraturan-peraturan tersebut menegaskan bahwa masalah pertanahan
adalah merupakan wewenang pemerintah pusat. Wewenang di sini dapat diartikan
secara sederhana adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum
publik.23 Sedangkan kewenangan merupakan kumpulan dari wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheden).
Bidang pertanahan merupakan wewenang dari Badan Pertanahan Nasional yang
mempunyai Kantor Wilayah di provinsi (regional) dan mempunyai Kantor Pertanahan
di kabupaten/kota (sektoral). Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok
Agraria, hak menguasai dari negara dapat di medebewind ke daerah
swatantra. Berdasarkan Pasal 13 dan 14 huruf (k) Undang Undang Nomor 32 Tahun
2004, urusan pelayanan pertanahan merupakan wewenang wajib dari kabupaten/kota.
Perincian wewenang pertanahan dari kabupaten/kota kemudian diatur dalam
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003. Jadi berdasarkan pelimpahan wewenang
pertanahan dari pemerintah tentunya kabupaten/kota secara yuridis sebenarnya
mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan otonomi di bidang pertanahan.
Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007, yang pada bagian lampirannya lebih menegaskan tentang
pembagian kewenangan di bidang pertanahan antara pusat dan daerah.
Mencermati
ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 berikut peraturan pelaksanaannya, apabila dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Presiden
Nomor 10 Tahun 2006 beserta peraturan pelaksanaannya, maka di bidang pertanahan
telah terjadi ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan. Dipihak pemerintah
menganggap bahwa wewenang pertanahan secara yuridis adalah sudah sesuai dengan
amanat Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria tetapi dilain pihak pemerintah
daerah juga menganggap bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka
secara yuridis pemerintah daerah mempunyai wewenang juga di bidang pertanahan.
Dissinkronisasi demikian dapat menimbulkan benturan antara kedua undang-undang
tersebut sehingga memunculkan adanya problema dan konflik norma serta konflik
kepentingan dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan. Kondisi yang
demikian dapat terjadi karena Undang-Undang Pemerintahan Daerah hanya mengatur
tanah dalam arti sempit, yaitu kewenangan pemanfaatan tanah dan pengelolaan
bidang oleh kabupaten/kota, sedangkan menurut Undang-Undang Pokok Agraria
konsep tanah diartikan secara luas, meliputi penataan ruang, hak atas tanah,
pendaftaran tanah, landreform dan lain sebagainya. Urusan pertanahan
yang dapat dilimpahkan dalam rangka otonomi daerah hanyalah urusan agraria
(pertanian),26 sedangkan urusan kepemilikan tanah harus tetap berada pada
kewenangan pemerintah pusat.
Kewenangan
mengurus bidang pertanahan menurut Undang-Undang Pokok Agraria ada pada negara
yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Ketentuan dalam
Undang-Undang Pokok Agraria tersebut bersumber pada Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang telah menentukan
bahwa semua tanah adalah merupakan hak ulayat Bangsa Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa,27 yang penguasannya ditugaskan kepada negara dalam hal ini
adalah pemerintah pusat. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk menuju pada
pencapaian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan hak menguasai negara
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria, maka
pemerintah pusat berwenang mengatur dan menetapkan berbagai segi peruntukan dan
penguasaan tanah. Penetapan dan pengaturan tersebut meliputi perencanaan
peruntukan tanah, penguasaan dan perbuatan hukum mengenai tanah serta
pendaftaran tanah, yang pada kenyataannya selalu dilaksanakan oleh pemerintah
pusat. Memang dimungkinkan dilakukan pelimpahan wewenang kepada pemerintah
daerah atau daerah swatantra, namun pelimpahan tersebut dilakukan dalam
rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ada di
daerah. Bisa juga pelimpahan wewenang tersebut diberikan kepada pemerintah
daerah sebagai daerah otonom, tetapi hanya dalam rangka tugas pembantuan (medebewind),
bukan desentralisasi atau otonomi daerah. Otonomi daerah sebagaimana ditentukan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, urusan pertanahan dapat didesentralisasikan kepada
pemerintah daerah. Undang-undang tersebut telah menentukan bahwa bidang pertanahan
merupakan salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh pemerintah
daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), namun ketentuan tersebut tidak harus
dicerna secara mentah atau dimaknai bahwa wewenang tersebut secara utuh berada
pada pemerintah daerah. Arie Sukanti Hutagalung, mengatakan bahwa wewenang yang
dipunyai oleh pemerintah daerah di bidang pertanahan hanya sebatas yang
bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan:
Pengaturan
kewenangan pemerintah daerah di bidang pertanahan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1). Pasal
tersebut menegaskan bahwa urusan di bidang pertanahan merupakan urusan wajib
yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Tindak lanjut dari ketentuan
tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Kewenangan pemerintah daerah di
bidang pertanahan dalam peraturan pemerintah tersebut di atur dalam Pasal 7
ayat (2) dan secara rinci kewenangan tersebut disebutkan pada Lampiran
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.
Kendala-kendala
penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah di bidang pertanahan adalah:
pertama, dissinkronisasi norma horizontal antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 menegaskan bahwa urusan pertanahan adalah urusan pemerintah pusat yang
hanya bisa di medebewinkan kepada daerah, sementara Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 menegaskan bahwa urusan di bidang pertanahan adalah urusan wajib
yang telah di desentralisasikan kepada daerah.
B.
Saran
:
Jadi
saran saya Pembagian urusan pemerintahan dilaksanakan melalui mekanisme
penyerahan dan atau pengakuan atas usul daerah terhadap bagian urusan-urusan
pemerintahan yang akan diatur dan diurusnya. di bidang pertanahan, haruslah
mendapat perhatian yang serius dari pemerintah untuk menciptakan di bidang
pertanahan, haruslah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah untuk
menciptakan suatu kepastian hukum terkait kewenangan pemerintah daerah di
bidang pertanahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar