Kamis, 25 Juni 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.        LATAR BELAKANG
Sesuai dengan ketentuan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No 125), dijelaskan bahwa, diluar 6 (enam) kewenangan yang dimiliki pemerintah adalah merupakan kewenangan dari pemerintah daerah. Ini artinya bahwa di luar enam kewenangan tersebut, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah provinsi, kabupaten/kota, antara lain adalah bidang pertanahan. Kendati demikian perlu diperhatikan bahwa dalam proses peralihan wewenang ini tentunya tidak serta merta hanya melandaskan diri pada Undang Undang No 32 Tahun 2004 saja, tetapi harus juga memperhatikan ketentuan perundangan lainnya yang berkaitan, dalam hal ini adalah Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa disebut dengan singkatan UUPA (LN 1960 No. 104). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa, pelayanan pertanahan merupakan kewenangan daerah dan idealnya dilaksanakan oleh dinas daerah atau lembaga teknis lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Kenyataannya setelah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dilaksanakan, bahkan sampai sekarang pembagian kewenangan bidang pertanahan antara pemerintah dan daerah belum juga usai. Pemerintah terkesan ingin tetap menguasai semua kewenangan di bidang pertanahan, sementara itu pemerintah daerah juga ingin mendapat bagian urusan pertanahan sesuai undang-undang. Melihat perkembangannya, pemerintah justru mengeluarkan beberapa peraturan pelaksanaan ataupun petunjuk pelaksanaan yang membingungkan pemerintah daerah, bahkan peraturan tersebut justru secara hirarki bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Pemerintah ternyata masih tetap mempertahankan Kantor Badan Pertanahan Nasioanal, baik di provinsi maupun Kabupaten/Kota sebagai instansi vertikal dan mempertahankan kewenangan pertanahan sebagai kewenangan pemerintah, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Bidang Pertanahan. Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tersebut menyebutkan bahwa, Badan Pertanahan Nasional bertugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral, kemudian disebutkan juga Badan Pertanahan Nasional mempunyai 21 fungsi. Fungsi tersebut antara lain adalah pengaturan dan penetapan hak atas tanah, pembinaan dan pelayanan administrasi umum bidang pertanahan serta pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus.
B. RUMUSAN MASALAH
A.    Kendala-Kendala Yang Dihadapi Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan  Kewenangan Di Bidang Pertanahan




















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, terlahir sebagai respon terhadap perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di samping itu juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000, mengenai Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Desentralisasi dalam undang-undang ini, memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar bidang yang menjadi urusan pemerintah. Berdasarkan prinsip otonomi luas tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan secara nyata dan bertanggung jawab yaitu bahwa urusan pemerintahan dimaksud dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai potensi dan kekhasan daerah. Semua itu diarahkan untuk mencapai tujuan pemeberian otonomi yaitu untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian dari tujuan nasional. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintahan atau concurrent. Setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat concurrent senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dibagi secara proporsional antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ditetapkan kriteria pembagian urusan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.19 Eksternalitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila berdampak regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila berdampak nasional menjadi kewenangan Pemerintah.
Akuntabilitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung atau dekat dengan dampak atau akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Artinya akuntabilitas (pertanggungjawaban) penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. Efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah.

B.Kendala-Kendala Yang Dihadapi Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan  Kewenangan Di Bidang Pertanahan
Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan kebijakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana sampai dengan amandemen yang ke 4 (empat) secara redaksional tidak mengalami perubahan. Pasal tersebut menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kandungan makna dalam pasal tersebut, menurut Winahyu Erwiningsih, memiliki dua garis besar yaitu: pertama, negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; kedua, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara merupakan suatu konsep yang mendasarkan pada pemahaman bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat sehingga bagi pemilik kekuasaan, upaya mempengaruhi pihak lain menjadi sentral yang dalam hal ini dipegang oleh negara. Hak menguasai atas tanah tersebut pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan. Mengingat luas wilayah, hasilguna dan dayaguna, maka wewenang pemerintah pusat dapat dilimpahkan kepada daerah dengan medebewind. Prinsip inilah yang dijadikan dasar oleh pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang berkaitan dengan masalah pertanahan. Intinya isi dari peraturan-peraturan tersebut menegaskan bahwa masalah pertanahan adalah merupakan wewenang pemerintah pusat. Wewenang di sini dapat diartikan secara sederhana adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik.23 Sedangkan kewenangan merupakan kumpulan dari wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheden). Bidang pertanahan merupakan wewenang dari Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai Kantor Wilayah di provinsi (regional) dan mempunyai Kantor Pertanahan di kabupaten/kota (sektoral). Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria, hak menguasai dari negara dapat di medebewind ke daerah swatantra. Berdasarkan Pasal 13 dan 14 huruf (k) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pelayanan pertanahan merupakan wewenang wajib dari kabupaten/kota. Perincian wewenang pertanahan dari kabupaten/kota kemudian diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003. Jadi berdasarkan pelimpahan wewenang pertanahan dari pemerintah tentunya kabupaten/kota secara yuridis sebenarnya mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan otonomi di bidang pertanahan. Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, yang pada bagian lampirannya lebih menegaskan tentang pembagian kewenangan di bidang pertanahan antara pusat dan daerah.
Mencermati ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 berikut peraturan pelaksanaannya, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 beserta peraturan pelaksanaannya, maka di bidang pertanahan telah terjadi ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan. Dipihak pemerintah menganggap bahwa wewenang pertanahan secara yuridis adalah sudah sesuai dengan amanat Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria tetapi dilain pihak pemerintah daerah juga menganggap bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka secara yuridis pemerintah daerah mempunyai wewenang juga di bidang pertanahan. Dissinkronisasi demikian dapat menimbulkan benturan antara kedua undang-undang tersebut sehingga memunculkan adanya problema dan konflik norma serta konflik kepentingan dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan. Kondisi yang demikian dapat terjadi karena Undang-Undang Pemerintahan Daerah hanya mengatur tanah dalam arti sempit, yaitu kewenangan pemanfaatan tanah dan pengelolaan bidang oleh kabupaten/kota, sedangkan menurut Undang-Undang Pokok Agraria konsep tanah diartikan secara luas, meliputi penataan ruang, hak atas tanah, pendaftaran tanah, landreform dan lain sebagainya. Urusan pertanahan yang dapat dilimpahkan dalam rangka otonomi daerah hanyalah urusan agraria (pertanian),26 sedangkan urusan kepemilikan tanah harus tetap berada pada kewenangan pemerintah pusat.
Kewenangan mengurus bidang pertanahan menurut Undang-Undang Pokok Agraria ada pada negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria tersebut bersumber pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang telah menentukan bahwa semua tanah adalah merupakan hak ulayat Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa,27 yang penguasannya ditugaskan kepada negara dalam hal ini adalah pemerintah pusat. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk menuju pada pencapaian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan hak menguasai negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria, maka pemerintah pusat berwenang mengatur dan menetapkan berbagai segi peruntukan dan penguasaan tanah. Penetapan dan pengaturan tersebut meliputi perencanaan peruntukan tanah, penguasaan dan perbuatan hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah, yang pada kenyataannya selalu dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Memang dimungkinkan dilakukan pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah atau daerah swatantra, namun pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah. Bisa juga pelimpahan wewenang tersebut diberikan kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom, tetapi hanya dalam rangka tugas pembantuan (medebewind), bukan desentralisasi atau otonomi daerah. Otonomi daerah sebagaimana ditentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pertanahan dapat didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Undang-undang tersebut telah menentukan bahwa bidang pertanahan merupakan salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), namun ketentuan tersebut tidak harus dicerna secara mentah atau dimaknai bahwa wewenang tersebut secara utuh berada pada pemerintah daerah. Arie Sukanti Hutagalung, mengatakan bahwa wewenang yang dipunyai oleh pemerintah daerah di bidang pertanahan hanya sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.














BAB III
PENUTUP
A.          Kesimpulan:
Pengaturan kewenangan pemerintah daerah di bidang pertanahan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1). Pasal tersebut menegaskan bahwa urusan di bidang pertanahan merupakan urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Tindak lanjut dari ketentuan tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Kewenangan pemerintah daerah di bidang pertanahan dalam peraturan pemerintah tersebut di atur dalam Pasal 7 ayat (2) dan secara rinci kewenangan tersebut disebutkan pada Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.
Kendala-kendala penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah di bidang pertanahan adalah: pertama, dissinkronisasi norma horizontal antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 menegaskan bahwa urusan pertanahan adalah urusan pemerintah pusat yang hanya bisa di medebewinkan kepada daerah, sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa urusan di bidang pertanahan adalah urusan wajib yang telah di desentralisasikan kepada daerah.
B.          Saran :
Jadi saran saya Pembagian urusan pemerintahan dilaksanakan melalui mekanisme penyerahan dan atau pengakuan atas usul daerah terhadap bagian urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur dan diurusnya. di bidang pertanahan, haruslah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah untuk menciptakan di bidang pertanahan, haruslah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah untuk menciptakan suatu kepastian hukum terkait kewenangan pemerintah daerah di bidang pertanahan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar