Minggu, 28 Juni 2015

Dana Aspirasi dan Pencitraan Parpol

Dana Aspirasi dan Pencitraan Parpol

27 Juni 2015 05:10:09 Dibaca : 186

Media massa baik cetak maupun elektronik, akhir-akhir ini menyuguhkan pemberitaan seputar Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang dikenal dengan sebutan Dana Aspirasi.
Dana aspirasi hanyalah sebuah alat bagi para politisi di Senayan dan Parpol, untuk melakukan pencitraan guna menarik perhatian rakyat Indonesia. Baik itu yang sifatnya jangka pendek, maupun jangka panjang, baik bagi yang menolak Dana Aspirasi, maupun yang mengusulkan. Lucunya, mereka kedua belah pihak ini, sama-sama mengatasnamakan rakyat. Parahnya, jika benar kedua belah pihak hanya berfikir tentang pencitraan semata, maka ini akan berdampak pada kerugian negara, sebab ada beberapa hal yang menurut hemat penulis, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Padahal, mereka yang ada di senayan adalah pembuat aturan, masa sih, mereka tidak paham soal UU ?
Ada dua pendapat mengenai Dana Aspirasi ini. Mereka yang mengusulkan adanya dana aspirasi, mengeluarkan beberapa alasan akan keharusan adanya dana aspirasi ini. Politikus Golkar Misbakhun, misalnya, menegaskan bahwa dana aspirasi itu, akan diberikan kepada masyarakat. Masyarakat di daerah pemilihannya, menjadi lebih diperhatikan aspirasinya. Anggota DPR menjadi kuat fungsi representasi nya di dapil. Memperkuat lembaga DPR RI menurutnya adalah tugas setiap anggotanya. Menjadi wakil rakyat yang aspiratif dan menjaga amanah dengan baik. Dan UP2DP menurutnya adalah solusi untuk itu.
Sedangkan, mereka yang menolak UP2DP yang jumlahnya mencapai Rp11,2 triliun, seperti Wakil Sekjen PDIP, Komaruddin Watubun, mengkhawatirkan adanya pembegalan APBN yang berwujud korupsi berjamaah. Ia juga menyebutkan, akan terjadi kesenjangan dan ketidakadilan, karena wilayah yang jumlah kursi DPR-nya besar akan mendapat dana yang besar, sementara wilayah yang jumlah kursi DPR-nya kecil, akan dapat dana sedikit. Lain lagi pertimbangan Waketum Partai Demokrat, Syarief Hasan, yang juga menolak dana aspirasi DPR. Ia yakin pemerintah tidak menyetujui usulan itu masuk APBN 2016, karena kondisi ekonomi Indonesia sangat memprihatinkan.
Jelas, dari dua kubu, sama-sama mengatasnamakan kepentingan pembangunan daerah dan atas nama Rakyat Indonesia. Inilah yang saya maksud, bahwa keduanya hanya menjadikan Dana Aspirasi sebagai ladang untuk melakukan pencitraan jelang Pileg 2019 yang tersisa 3 tahun lebih itu. Kok keduanya melakukan Pencitraan ? Jelas, yang bersifat jangka panjang adalah, mereka yang menginginkan adanya UP2DP itu. Jika itu terwujud, maka mereka akan mengklaim sejumlah program pembangunan di daerah pemilihannya yang menggunakan APBN itu, sebagai program yang mereka perjuangkan. Meskipun dari total Rp11,2 triliun APBN itu, tidak keseluruhan akan dirasakan langsung oleh rakyat, dan bisa jadi, jumlahnya akan lebih besar dinikmati oleh mereka-mereka yang ada di Senayan saat ini. Tetapi, saya yakin, akan banyak rakyat yang percaya hal tersebut, khususnya yang ada di Dapil mereka masing-masing.
Yang menolak UP2DP adalah mereka yang melakukan investasi. Citranya saat tentu sangat bagus, karena dianggap berupaya menyelamatkan uang negara.
Pencitraaan yang dilakukan saat ini, terbukti masyarakat yang mendukung gerakan sejumlah fraksi yang menolak jumlahnya besar. Bahkan dikabarjan sejumlah LSM, seperti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), telah mengumpulkan sekitar 13 ribu sekian tanda tangan dari rakyat indonesia yang kut menolak.
Kenapa disebut sebagai pencitraan, karena tidak ada jaminan, jika nantinya usulan itu diterima dan terealisasi, mereka tidak ikut menikmati. Seharusnya, dana aspirasi tidak hanya menjadi lahan pencitraan bagi kedua kubu. Agar tidak ngotot-ngotot-ngototan, jauh lebih, jika mereka yang selalu mengatasnamakan rakyat, melakukan survei dengan menggunakan satu lembaga survei yang kredibel, sehingga benar-benar dapat diketahui, apakah rakyat benar-benar menginginkan hal itu atau tidak. Karena persoalan pembangunan di daerah, mekanismenya sangat jelas. Sementara UP2DP telah bertentangan dan tidak sesuai dengan sistem perencanaan pembangunan nasional.
Mengutip kalimat Guru Besar Fakultas Hukum Unanda, Prof. Dr. H. Lauddin marsuni SH.,MH., (dimuat di Harian Palopo Pos, Edisi Jumat, 26 Juni  2015, Halaman 1), bahwa dana aspirasi diadakan melalui Fraksi, yang bukan merupakan alat kelengkapan DPR. Itu sudah salah dan tidak sesuai sistem perencanaan pembangunan nasional, karena tidak melalui Musrembang dan tidak sesuai dengan RPJP, RPJM. DPR yang merupakan lembaga legislatif hanya berhak membahas anggaran yang diusulkan oleh eksekutif dalam hal ini
kepresidenan. Tetapi, yang terjadi, justeru DPR yang mengusulkan dana aspirasi tersebut, dan mengesahkan sendiri.
Lima regulasi yakni UU nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, uu nomor 15 tahun 2004 pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, uu nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional, dan uu nomor 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, serta peraturan Presiden RI nomor 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019.
Tak ada satupun yang berhak membenarkan proses pengadaan dana aspirasi itu. Jika dana aspirasi tidak ditolak oleh Presiden, maka ujungnya akan tercipta korupsi yang menyebabkan kerugian negara. Karena regulasi yang dijadikan dasar tidak jelas. Pertanggungjawaban penggunaan anggaran itupun tak jelas. Apakah akan dipertanggungawabkan oleh DPR secara kelembagaan, dalam hal ini Sekwan, ataukah pemerintah daerah, atau justru pihak istana yang akan mempertanggunjawabkan penggunaan anggaran itu ?
Seharusnya DPR telah memikirkan persoalan ini, dan tidak gelap mata melihat jeritan rakyat, hanya untuk kepentingan pencitraan semata untuk mereka yang ingin mengamankan posisi sebagai legislator di Senayan. DPR harus bersatu, berhenti membahas Dana Aspirasi, dan membatalkan pengesahan dana aspirasi itu. Jangan biarkan rakyat menderita, jangan menyuguhkan rakyat wacana yang justeru membuat masyarakat resah. Laksanakan program pembangunan daerah sesuai dengan sistem perencanaan pembangunan daerah. Jangan biarkan terjadi kesenjangan pembangunan antar daerah, tetapi laksanakan pemerataan pembangunan diseluruh Indonesia. #Stoppencitraan, #tolakdanaaspirasi #korupsigayabaru (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar