Selasa, 30 Juni 2015
Anggaran Minim, Moratorium Status PTS Jadi PTN Diperpanjang
Menteri Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir memberikan presentasi dalam acara Education Outlook 2016 di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Rabu, 27 Mei 2015. Acara tersebut diselenggarakan oleh Tempo Media Group dan Universitas Katolik Atma Jaya. [TEMPO/Subekti; SB2015052701] (Komunika Online
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengatakan Presiden Joko Widodo meminta perpanjangan moratorium pengubahan status perguruan tinggi swasta menjadi perguruan tinggi negeri. Menurut Nasir, alasan Jokowi memperpanjang penundaan disebabkan oleh minimnya anggaran.
"Moratorium dilakukan karena rupanya banyak sekali permasalahan yang dihadapi setelah perguruan tinggi swasta berubah menjadi negeri," kata Nasir, di Istana Negara, Senin, 29 Juni 2015. "Pertama, masalah status kepegawaian dan dosen, lalu masalah aset, dan terakhir anggaran."
Nasir mengatakan saat ini ada sekitar 27 perguruan tinggi swasta yang diusulkan menjadi perguruan tinggi negeri. Sebelumnya, pemerintah sudah menasionalisasi 36 PTS. Menurut dia, dalam rapat terbatas tadi Jokowi meminta solusi bagaimana kualitas PTS sejajar dengan perguruan tinggi negeri.
"Agar nantinya kasus ijazah palsu yang dikeluarkan oleh universitas swasta tidak terjadi lagi," ujarnya. "Presiden mencari alternatif agar setelah moratorium kualitas PTS setara dengan PTN. Juga pemerataan kampus di tempat terpencil."
Jokowi, kata Nasir, meminta nasionalisasi PTS dilakukan setelah keadaan ekonomi Indonesia membaik. "Karena kendalanya ketika sudah dijadikan PTN, pemerintah daerah yang kewalahan dalam menganggarkan. Ini yang menjadi masalah."
Senin, 29 Juni 2015
BUDAYA DI TANAH TORAJA
A. Latar Belakang
Dalam masyarakat Tana Toraja terdapat banyak
sekali adat istiadat yang dapat dijumpai di sana, sehingga Tana Toraja memiliki
potensi wisata yang cukup mengagumkan khususnya pada kebudayaan daerah
setempat. Kebudayaan yang beragam di Tana Toraja memiliki ciri khas tersendiri
dibandingkan dengan daerah lain yang terkadang memiliki kesamaan dengan daerah
lainya. Adapun keragaman adat istiadat yang terdapat didaerah Tana Toraja yaitu
upacara Kematian dimana orang yang sudah mati diperlakukan berbeda sesuai dengan
usianya dan cara penguburan yang berbeda, upacara Meroek yaitu upacara
penghormatan kepada Dewi Pelindung masyarakat, upacara perkawinan.
Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara
adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’,
dan upacara adat Rambu Tuka.
Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu
Tuka’ maupun Rambu Solo’ diikuti
oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme[1][1] yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah
Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Suku Toraja adalah suku yang
menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu
dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis.
Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan
sebutan To Riaja yang mengandung arti
“Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu
menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah
barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya =
dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan
penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga
tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja. Wilayah Tana
Toraja juga digelar Tondok Lili’na
Lapongan Bulan Tana Matari’allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat
seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka
sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan
Belanda dan masa
pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali
berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama.
Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak
keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan
dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali
digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran
tinggi.
Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan
perdagangan dengan orang luar seperti suku
Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di
Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan
kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini
tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana
Toraja. Sejak itu,
Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama suku Bugis (kaum
mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan
pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di
dataran tinggi).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian diatas maka dapatlah
dirumuskan permasahan dalam penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Apa sistim Pernikahan bagi
masyarakat Toraja ?
2. Bagaimana histori dan
pelaksanaan Upacara Adat Pernikahan di Toraja ?
3. Pandangan Adat, Budaya dan
Agama terhadap Upacara Pernikahan di Toraja ?
C. Adat dan Upacara Perkawinan
1. Pengertian perkawinan
Perkawinan adalah membentuk keluarga dengan
lawan jenis.[2][2]
Dalam Islam perkawinan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang bukan mahram.[1][3]
Tentang perkawinan di Tana Toraja (siala atau sipada ine) mengandung banyak aturan dan dalam melaksanakannya
sangata bersahaja, yang dinamakan pertunangan sebenarnya kurang dijumpai di
negeri ini, karena perkawinan sedemikian itu biasanya timbul dari cinta yang
begitu saja, diperoleh dari kedua belah pihak.
Untuk mengadakan perkawinan perlu restu (izin)
orang tua dahulu. Bila peraturan tersebut dilanggar, maka si lelaki atau si
perempuan itu diasingkan (tak diakui lagi sebagai anak) oleh orang tuanya,
tetapi tak lama kemudian tetap pula seperti biasa. Untuk mengetahui apakah
permintaan laki-laki itu dapat diterima baik, maka dimintanya orang tuanya atau
keluarga pergi ke orang tua perempuan itu menyampaikanmaksud tadi. Bilamana
permintaannya diterima baik, lalu keluarga laki-laki tersebut mengirim utusan
yaitu orang-orang yang dipercayainya dengan segala keperluan upacara adat
seperti sirih tersebut diterima baik, maka dilanjutkan dengan upacara perkawinan.
Pada waktu melamar ada disebut tentang ganti
kerugian, dan ini ucapkan juga pada waktu upacara peresmian perkawinan. Hal ini
tergantung dari derajat orang yang kawin. Pembayaran kerugian/hukum denda (kappa) dibayar pada waktu bercerai
sebagai hokuman bagi yang bersalah. Pembayaran tersebut dinilai dengan kerbau,
seperti yang telah diuraikan. Jadi mas kawin tidak ada kecuali bila seorang
perempuan mau kawin dengan seorang lelaki yang tidak disetujui oleh orang tua
si perempuan. Dalam hal ini si lelaki harus membayar mas kawin yang terdiri
dari :
1.
Untuk perempuan golongan Puang
1-12 ekor kerbau.
2.
Untuk perempuan golongan
Tumakaka 1-3 ekor kerbau.
3.
Untuk perempuan golongan hamba
1 ekor kerbau.
Adat dan upacara perkawinan di Tator adalah
sangat sederhana jika dibandingkan dengan upacara perkawinan di daerah Bugis,
Makassar, dan Mandar. Upacara perkawinan dapat berlangsung hanya beberapa hari,
tetapi sebaliknya dengan upacara kematian di Tator berlangsung lama dan menelan
biaya yang besar. Adat dan upacara perkawinan di Tana Toraja dapat bagi dalam
tiga tingkatan, tingkatan ini tidak terikat dengan suatu ketentuan tetapi
hanyalah diatur menurut kemampuan dan keinginan dari pihak yang mengadakan
perkawinan atau orang tua dipihak yang mengadakan perkawinan.
Menurut sejarah perkawinan di Tana Toraja dengan
dasar pemikiran menurut pandangan hidup aluk
Todolo, bahwa seseorang yang akan kawin baru mau memasuki rumah tangga
belum mempunyai apa-apa, makanya upacara perkawinannya sedapat mungkin
sederhana saja, tetapi setelah perkawinan sudah mendapat berkah dan sudah
mendapat anak, maka barulah mereka mengadakan pengucapan syukur dengan kurban
kerbau sesuai kemampuan.[3][4]
Tingkat-tingkat perkawinan di Tana Toraja
lasimnya dilakukan menurut kasta atau tana’ dari kedua belah pihak yang
dikawinkan itu tetapi pada dasarnya harus tunduk pada dasar atau kedudukan sang
perempuan umpamanya seorang laki-laki berasal dari Tana' Bulaan dan kawin dengan perempuan asal Tana' Bassi, maka yang menjadi patokan dalam perkawinan ini adalah
Tana' dari pada perempuan dan nilai hukumnya adalah Tana' Bassi dengan 6 (enam)
ekor kerbau Sangpala’.
Oleh sebab itu tingkatan upacara perkawinan adat Toraja ini ada, tetapi tingkatan sangat sederhana saja pelaksanaannya yakni sebagai berikut :
Oleh sebab itu tingkatan upacara perkawinan adat Toraja ini ada, tetapi tingkatan sangat sederhana saja pelaksanaannya yakni sebagai berikut :
1. Perkawinan dengan cara sederhana yang
dinamakan Bo’bo’ Bannang
yaitu perkawinan yang dilakukan pada malam harinya dengan tamu-tamu hanya
dijamu dengan lauk-pauk ikan-ikan saja, dan umumnya hanya pengantar laki-laki
saja dua atau tiga orang yang juga sebagai saksi dalam perkawinan itu. Ada
kalanya dipotong pula satu dua ekor ayam untuk jamuan dari pengantar laki-laki.
2. Perkawinan yang menengah yang
dinamakan Rampo Karoen
artinya perkawinan dilakukan pada sore harinya di rumah perempuan dengan
mengadakan sedikit acara pantun-pantun perkawinan setelah malam pada waktu
hendak makan dari wakil-wakil kedua belah pihak dihadapan saksi-saksi adat yang
mendengar pula keputusan hukum dan ketentuan-ketentuan perkawinan yang selalu berpangkal
dari nilai hukum tana’ yang sudah dikatakan diatas. Pada perkawinan Rampo Karoen ini dipotong seekor babi
untuk menjadi lauk pauk para tamu-tamu yang hadir dan pemerintah adat itu
disamping ayam sesuai dengan kemampuan dan banyaknya yang hadir.
3. Perkawinan yang tinggi dengan
acara yang dinamakan Rampo Allo
yaitu perkawinan yang diatur atau dilaksanakan pada waktu matahari masih
kelihatan sampai malam dengan mengurbankan 2 (dua) ekor babi dan ayam seadanya
sebagai syarat tetapi boleh juga lebih dari pada itu sesuai dengan kemampuan
dari keluarganya.Perkawinan yang dikatakan Rampo
Allo itu memakan waktu agak lama tidak sama dengan cara perkawinan yang
disebutkan diatas, maka perkawinan demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga
Tana' Bulaan yang berkesanggupan tetapi kasta Tana' Bassi sangat jarang melakukannya apalagi Tana' Karurung dan Tana'
Kua-Kua.[4][5]
Sebelum sampai kepada hari inti perkawinan
jikalau cara Rampo Allo, harus
melaksanakan beberapa hal sebagai acara pendahuluan dalam perkawinan ini
masing-masing:
1.
Palingka Kada, artinya mengutus utusan dari
pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk berkenalan dan mencari tahu apakah
ada ikatan perempuan itu, dan menyampaikan akan ada hajat melamar
2.
Umbaa Pangngan artinya mengatur dan
mengantar sirih pinang dengan mengirim utusan laki-laki yang membawa sirih
pinang tersebut yang dibungkus dalam satu tempat yang dinamakan Solong (pelepah
pinang), yang mula-mula diantao oleh tiga orang perempuan yang langsung
disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Cara mengantar sirih
pinang ini dilakukan 3 kali baru mendapat kepastiannya yang jalannya sebagai
berikut:
1). Mengutus 4 (empat) orang
dengan 3 (tiga) perempuan sebagai pernyataan lamaran.
2). Mengutus 8 (delapan) orang
sebagai pernyataan pelamar datang menunggu jawaban pinangan.
3). Mengutus 12 (dua belas)
orang sebagai tanda bahwa lamaran yang sudah diterima dan utusan datang
atas nama keluarga akan membicarakan waktu dan tanggal perkawinan, dan pada
waktu itu utusan sudah boleh datang di rumah pengantin perempuan.
3.
Urrampan Kapa’ artinya membicarakan tana’ perkawinan untuk menentukan
besarnya hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan tana’ keduanya jikalau ada yang merusak rumah tangga dibelakang
hari yang dinamakan kapa’.
4.
Dinasuan / dipandanni langngan artinya perkawinan sudah
berjalan dan sudah memakan makanan pada rumah masing-masing keduanya berganti-ganti
dan telah mengadakan pengiriman makanan dalam dua buah bakul dan dipikul dengan
penggali, dan bakul ini dinamakan Bakku’
Barasang. Pada kesempatan ini wakil dari laki-laki yang dinamakan To Umbongsoran Kapa’ hadir
bersama-sama dengan wakil dari perempuan yang dinamakan To Untimangan Kapa’. Kedua
belah pihak berganti-ganti mengucapkan syair dan pantun perkawinan dan
mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' pada mulanya dihadapi oleh Puang Matua (Sang Pencipta) di atas langit serta mengungkap pula
bagaimana perkawinan raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada
manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan/Tana' Bulaan.
5.
Sesudah tiga hari, maka tiba
pada hari acara makan balasan di rumah laki-laki untuk mengakhiri perkawinan
dan melaksanakan yang dikatakan Umpasule
Barasang yaitu bakul berisi makanan yang telah dibawa oleh wakil perempuan
ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah perempuan dan inilah yang
dikatakan Umpasule Barasang.
Bakku Barasang ini berisi
makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan (anak babi,
kerbau, ayam, dll) yang dibuat dari tepung beras namanya Kampodang, yang setibanya di rumah
perempuan akan dimakan pula bersama, dan sesudah makan bersama,
keluarga-keluarga pihak laki-laki kembali dan laki-laki tinggallah terus di
rumah perempuan/orang tua perempuan.
Dalam perkawinan di Tana Toraja sudah dikatakan
bahwa tidak ada kurban persembahan dan kurban sajian, karena babi yang dipotong
oleh keluarganya itu hanya semata-mata menjadi lauk-pauk bagi seluruh orang
yang hadir pada perkawinan itu serta diberikan kepada pelaksana upacara
perkawinan seperti anggota dewan adat, wakil keluarga, serta saksi-saksi
lainnya, yang pada waktu acara makan disusunlah Pinggan Adat namanya Dulang
yang berisi nasi dan daging babi yang disusun atau disediakan menurut tingkat
kasta yang kawin, yang pada waktu melihatnya terus diketahui bahwa orang yang
kawin ini berasal dari kasta Tana' Bulaan
ataukah Tana' Bassi dan dibawah ini
susunan dulang dari Tana' Bulaan
yaitu Rampanan Kapa' Rampo Allo
sebagai berikut:
1)
Dua Dulang untuk pengantar kedua belah pihak atau wakil dari kedua
mempelai.
2)
Dua Dulang untuk orang yang membawa kayu bakar dan orang yang datang
membawa sirih pinang.
3)
Dua Dulang untuk wakil orang tua kedua belah pihak.
4)
Dua Dulang dari ketua adat sebagai saksi dan mensahkan Rampanan Kapa' (perkawinan).
5)
Satu Dulang untuk tempat makan bersama kedua mempelai dan pada saat
makan bersama mempelai perempuan menyuapi mempelai laki-laki dan sebaliknya,
kemudian seluruh hadirin makan bersama dari masing-masing dulang tersebut.
Penyusunan dulang seperti di atas adalah untuk perkawinan
dari kasta Tana' Bulaan dengan
susunan 9 (sembilan) dulang.
Dengan adanya perkawinan semacam ini, maka
sering pula terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hubungan baik sebelum kawin
atau pun sesudah kawin sampai terjadi perceraian, maka diantara suami isteri
itu salah satunya yang membuat pelanggaran mendapat hukuman menurut hukum
perkawinan yang sudah tertentu yang didasarkan pada nilai hukum Tana; dan
hukuman yang dijatuhkan itu dinamakan kapa’, yang jumlah kapa’
itu sama dengan nilai Tana’ dari yang
akan dibayar dan bukan berdasar pada nilai hukum Tana’ yang bersalah.
Penentuan hukuman dengan nilai hukum Tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga kedua belah pihak.
Penentuan hukuman dengan nilai hukum Tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga kedua belah pihak.
Pelanggaran di dalam hubungan adat perkawinan di
Tana Toraja antara lain:
1. Songkan Dapo’, artinya bercerai/pemutusan
perkawinan yaitu yang bersalah dapat dihukum dengan hukuman Kapa’ dengan membayar kepada yang tidak
bersalah sebesar nilai Hukum Tana’
yang telah disepakati pada saat dilakukan perkawinan dahulu.
2. Bolloan Pato’, artinya pemutusan
pertunangan yang sudah disahkan oleh adat yang dinamakan To Sikampa
(to=orang;sikampa=saling menunggui) dan setelah menunggu saatnya duduk
bersanding makan dari Dulang (Rampanan Kapa' ), maka yang sengaja
memutuskan pertunangan itu tanpa dasar harus membayar kapa’ kepada yang tidak bersalah sesuai dengan nilai hukum tana’nya, kecuali jikalau terdapat
pertimbangan lain dari pada dewan adat.
3. Unnampa’ daun talinganna, artinya
orang yang tertangkap basah, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ kepada orang tua perempuan
jikalau tak dapat dikawinkan terus seperti karena halangan kastanya tidak
sama atau dilarang oleh adat, dan demikian pula perempuan harus mendapat
hukuman tertentu pula jika kastanya lebih tinggi dari laki-laki.
4. Unnesse’ Randan Dali’, artinya laki-laki membuat
persinahan dengan perempuan yang lebih tinggi tana’nya, maka laki-laki itu dihukum dengan membayar kapa’ sesuai
dengan nilai hukum tana’ dari perempuan.
5. Unteka’ Palanduan atau Unteka’
Bua Layuk yaitu perempuan kasta tingkat tinggi kawin dengan laki-laki kasta tingkat
rendahan. Keduanya ada hukumnnya seperti hukuman Dirampanan atau Diali’.
6. Urromok Bubun Dirangkang, artinya bersinah dengan
perempuan janda yang baru meninggal suaminya dan belum selesai diupacarakan
pemakaman suaminya, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ dengan nilai hukum tana’ perempuan karena tak dapat dkawinkan
sebelum upacara pemakaman dari suami perempuan itu, kecuali menunggu sampai
upacara pemakaman dari suami perempuan itu selesai tetapi sebelum kawin harus
mengadakan upacara mengaku-aku lebih dahulu dan kapa’ yang dibayar itu diterima oleh keluarga dari suami perempuan
janda itu.
2. Adat Perkawinan di Toraja.
Perkawinan yang dinamai rampanan kapa’
di Tana Toraja merupakan suatu adat yang paling dimuliakan masyarakat
Toraja karena dianggap sebagian dari terbentuknya atau tersusunannya kebudayaan
seperti pula pada suku-suku bangsa lainnya di Indonesia.
Jikalau kita memperhatikan proses dan
pelaksanaan perkawinan yang dinamakan rampanan kapa’ itu di Tana Toraja yang
dilakukan menurut adat Toraja, maka tampak perbedaan antara proses perkawinan
di daerah lain karena yang dilakukan atau yang menghadapi serta yang mensyahkan
perkawinan di Tana Toraja bukanlah penghulu agama tetapi dilakukan oleh
pemerintah adat dinamakan ada’. Namun sebenarnya perkawinan itu di asuh atau
diatur olah aturan-aturan yang bersumber dari ajaran aluk todolo yang dinamakan aluk
rampanan kapa’.
Rapanan kapa’ adalah upacara perkawinan
secara adat di Tanah Toraja yang dilaksanakan oleh orang-orang tua tempo dulu,
dengan memenuhi persyaratan anatara lain
yaitu : pihak laki-laki wajib menyerahkan maskawin berupa “keleke” dan “pangan”. Dalam suatu perkawinan di Tana Toraja tidak diadakan
kurban persembahan dan sajian persembahan seperti dalam menyelamati
peristiwa-peristiwa lain umpamanya pembangunan rumah, menyelamati keadaan
tanaman dan hewan ternak dan kelahiran manusia.
Perkawinan di Tana Toraja adalah semata-mata
adanya persetujuan kemudian persetujuan itu disyahkan dengan suatu perjanjian
dihadapan pemerintah adat dan seluruh keluarga yang telah terdapat aturan dan
hukum-hukum yang dibacakan dalam perjanjian sebagai sangsi dan perjanjian
perkawinan.
D. Kebudayaan Bendawi dan
kegiatan Perekonomian.
1. Rumah dan Pemukiman.
Rumah adat tradisional suku toraja di sebut Tongkonan. Tongkonan adalah sebuah rumah besar dengan atap berbentuk pelana menyerupai tanduk
kerbau yang mengarah ke depan. Bentuk rumah ini berbeda dengan rumah
Minangkabau di Sumatera Barat yang memiliki atap berbentuk pelana dan ujungnya
yang memanjang. Atap Tongkonan terbuat
dari daun kelapa sedangkan sisi rumah dihiasi ukiran. Pada bagian depan
biasanya terdapat sejumlah tanduk kerbau.
2. Pakaian Adat.
Baju adat Kandore
yaitu baju adat Toraja yang berhiaskan Manik-manik yang menjadi penghias dada,
gelang, ikat kepala dan ikat pinggang. Ada dua warna baju para pagar ayu, yaitu
Merah dan Putih, kemudian di belakang mereka berjalan-lah pasangan pengantin
dengan diiringi oleh Payung Kebesaran, selanjutnya menyusullah para keluarga
dari keluarga kedua mempelai. Kedua mempelai itu berjalan menuju kursi
pelaminan yang telah disediakan.
Ukiran-ukiran yang jadi Simbol kepercayaan hidup bagi masyarakat
Tana Toraja yg terukir di Banua Tongkonan
(Rumah Adat Tana Toraja) dan Lumbung Padi yaitu:
1.
Pa’ Bare’ Allo (terletak paling diatas berbentuk Bulan dan
Matahari).
Pa’Bare Allo adalah perlambang dari suatu Tatanan aturan tingkah laku seperti bulan dan matahari yang sudah tetap ada terbit dan terbenam matahari dipakai sebagai acuan waktu.
Pa’Bare Allo adalah perlambang dari suatu Tatanan aturan tingkah laku seperti bulan dan matahari yang sudah tetap ada terbit dan terbenam matahari dipakai sebagai acuan waktu.
2.
Pa’
Londong ( ukiran Ayam Jantan yg bertengger diatas Pa’Bare’ Allo).
Pa’ Londong adalah perlambang dari Keadilan karena salah satu dari sembilan cara memutus permasalahan atau sengketa adalah dengan mengadu ayam apabila pemimpin dalam kelompok sulit memutuskan pihak mana yg benar atau salah.
Pa’ Londong adalah perlambang dari Keadilan karena salah satu dari sembilan cara memutus permasalahan atau sengketa adalah dengan mengadu ayam apabila pemimpin dalam kelompok sulit memutuskan pihak mana yg benar atau salah.
3.
Pa’ Tedong (ukiran berbentuk Kepala Kerbau). Pa’Tedong adalah Perlambang
kesejahteraan karena kerbau merupakan hewan yang punyai nilai ekonomi terutama
utk corak tertentu.
Sebenarnya ada ukiran ke 4 yg berada paling
bawah berbentuk garis2 vertikal dan horisontal namun kadang tidak terlalu
diperhatikan, ini sebenarnya ukiran yg pertama dikenal dan dianggap yg tertua
(ada cerita tersendiri untuk ini) yang merupakan perlambang hubungan horisontal
dengan sesama manusia dan vertikal dengan Tuhan.
Toraja juga mengenal 4 warna dasar
yang selalu ada di Tongkonan:
1). Kuning perlambang kebesaran seperti matahari (akbar).
1). Kuning perlambang kebesaran seperti matahari (akbar).
2). Merah Perlambang darah atau kehidupan.
3). Putih perlambang kesucian.
4). Hitam perlambang Kedukaan.
E. Mata Pencaharian.
1.
Jenis mata pencaharian.
Secara umum ada dua jenis yang menjadi mata
pencaharian masyarakat Toraja yaitu :
1). Bertani
Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah
sehingga sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani.
Dalam rumah tangga bagi orang suku toraja suami dan isteri sama-sama mencari
nafkah, seperti dalam pertanian kalau suami mencangkul disawah adalah kewajiban
isteri menanaminya.
2).Tenun
Budaya tenun di Toraja telah menjadi warisan secara turun temurun, dengan tetap
mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang kegiatan menenun. Sehingga,
diharapkan tenun Toraja takkan
hilang ditelan jaman.
Selain itu, karena tenun telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang
berbasis budaya, maka aktivitas tersebut sangat membantu melestarikan
budaya itu sendiri.
2.
Peralatan Hidup / Teknologi.
Pada masyarakat Toraja terdapat bermacam-macam teknologi yang digunakan
seperti :
1). Alat Dapur
a. La’ka sebagai alat belanga
b. Pesangle yaitu sendok nasi dari kayu
c. Karakayu yaitu alat pembagi nasi
d. Dulang yaitu cangkir dari tempurung
e. Sona yaitu piring anyaman
2). Alat Perang / Senjata Kuno
a. Doke atau tombak untuk alat perang
dan berburu
b. Penai yaitu parang
c. Bolulong yaitu perisai
d. Sumpi atau sumpit
3). Alat Perhiasan
a. Beke – ikat kepala
b. Manikkota – kalung
c. Komba – gelang tangan
d. Sissin Lebu – cincin besar.
F. Kesimpulan
Sebenarnya
Indonesia memiliki ragam kebudayaan dan suku-suku didalamnya, tetapi banyak
masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan apa saja yang ada di negerinya. Salah
satu contohnya adalah Toraja, suku yang berdiam di provinsi Sulawesi Selatan
ini memiliki banyak kebudayaan-kebudayaan yang unik. Mulai suku-suku, bahasa,
adat perkawinan. Upacara adat kematian, makanan khas, dan objek wisata yang
beragam dan unik.
Perkawinan
Adat Toraja yang disebut Rampanan Kapa' merupakan prosesi
adat yang sangat dimuliakan masyarakat Toraja,
karena merupakan bahagian terbentuknya susunan pondasi kebudayaan suku Toraja.
Tampak perbedaan yang jelas antara prosesi adat perkawinan Toraja dengan
perkawinan di daerah lain. Karena bukanlah penghulu agama yang mensyahkan
perkawinan itu ,tetapi dilaksanakan oleh Pemerintah Adat yang dinamakan Ada’ dan perkawinan itu diatur oleh peraturan dari ajaran adat Aluk
Todolo yang disebut Aluk Rampanan Kapa’. Prosesi
perkawinan di Toraja terlaksana karena adanya persetujuan kedua belah pihak,
kemudian disyahkan dalam perjanjian disaksikan oleh pemerintah adat dan seluruh
keluarga.
Nama
tempat pelaksanaan pesta perkawinan adalah Tongkonan Lombok, dan disitulah
pelaminan pengantin disediakan. Tongkonan
adalah Rumah Tradisional Toraja
yang dihiasi dengan ukiran berwarna hitam, merah dan kuning. Kata Tongkonan sendiri berasal dari bahasa
Toraja yaitu Tongkon yang berarti duduk.
[1][1] Animisme : Kepercayaan
kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb).
Lihat Depertemen Pendidikan Nasioanal, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 53, 265.
[3][4] Dinas
Kebudayaan Pariwisata Provinsi Sul-Sel, Adat
dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan (Makassar : 14 Juli 2006),
h. 178.
Langganan:
Postingan (Atom)